Senin, 04 Juni 2012

“TAWURAN PELAJAR”: DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF PERILAKU AGRESI



TUGAS PSIKOLOGI SOSIAL
 “TAWURAN PELAJAR”: DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF PERILAKU AGRESI








OLEH
PAHALA JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003





PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2011
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
      Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”.
      “Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua.
      Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
      Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah (tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com). Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.
      Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum.
      Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekanisme-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif.
      M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency menunjukkan bahwa self-esteem bisa meramalkan masalah-masalah pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak berusia 11 tahun dengan self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
      Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans, Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi.
      Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud memandang tawuran dengan memahami beberapa perspektif perilaku agresi dan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.

B.     Rumusan Masalah
      Dari latar belakang yang tersurat dalam pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut, Bagaimana teori agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara mencegah terjadinya tawuran pelajar?













BAB II
LANDASAN TEORI


A.    Pengertian
      Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak
mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi.
Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai
perilaku agresi.
      Perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002).
      Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

B.     Bentuk-bentuk Agresi
      Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.

C.     Teori-Teori Agresi
1.      Teori Frustrasi – Agresi
Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2.      Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3.      Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.



BAB III
PEMBAHASAN


A.    Tawuran Merupakan Perilaku Agresif yang Marak Dilakukan di Kalangan Pelajar
      Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
      Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
      Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.

B.     Pandangan teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran
      Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas.
      Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1.      Teori Frustrasi – Agresi
      Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
      Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
      Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
      Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frustasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada tahun 1941, Miller menyatakan bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi.
      Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang disebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
      Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2.      Teori Belajar Sosial
      Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan.
      Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
      Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
      Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
      Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
      Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak di masa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan.
      Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3.      Teori Kualitas Lingkungan
      Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah.
Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.
      Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif, pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.
      Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya.
      Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah.
      Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.

C.     Upaya Mengatasi Tawuran
1.      Dengan memandang masa remaja merupakan periode storm and drang period (topan dan badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang.
Maka pelajar sendiri perlu mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll.
2.      Lingkungan keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:
a.       Mengasuh anak dengan baik.
·         Penuh kasih sayang
·         Penanaman disiplin yang baik
·         Ajarkan membedakan yang baik dan buruk
·         Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
·         Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.
b.      Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c.       Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.
d.      Memperkuat kehidupan beragama
Yang diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.
e.       Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan video game yang cocok dengan usianya.
f.       Orang tua menciptakan suasana demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
3.      Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:
a.       Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.
b.      Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas
remaja.
c.       Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
"tradisional bermusuhan" itu.
4.      LSM dan Aparat Kepolisian
LSM di sini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menanggulangi tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata tajam.

DAFTAR PUSTAKA


A, Craig. Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior. American Psychologycal Society 2001, (353-359).

Baron, R.A., dan Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon.

Brent, M. Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency. Research Article. American Psychological Society 2005, (328-335).

Bringham, J.C., Social Psychology. New York: Harper colligns. Publishers Inc.

Diekmann, Andreas. Social Status and Aggression. The Journal of Social Psichology 1996, 136(6), (761-768).

Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.

Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.

Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.

Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.

Kepemimpinan Dalam Kelarasan di Minangkabau


TUGAS
KEPEMIMPINAN ORGANISASI PUBLIK










OLEH
PAHALA JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003







PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2011
Kepemimpinan Dalam Kelarasan di Minangkabau

        Lareh atau laras artinya kesesuaian atau kesepakatan. Yang dimaksudkan di sini adalah kesepakatan antara nenek moyang suku Minangkabau untuk mengatur masyarakatnya. Jadi, lareh atau laras bisa juga disebut sebagai sistem pemerintahan. Nenek moyang yang melahirkan kesepakatan ini dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.
        Datuak Parpatiah adalah saudara seibu dengan Datuak Katumanggungan, tetapi bapaknya berbeda. Ayah datuak Katumanggungan adalah seorang raja, yang diberi gelar Sri maharaja Diraja. Sedangkan ayah Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai, orang biasa yang bertugas sebagai pembantu raja. Sejak kecil, keduanya sering berkelahi, sampai dewasa pun mereka berbeda pendapat.
        Cati Bilang Pandai adalah seorang yang dekat dengan rakyat, ia orang yang bijaksana, suka bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, darah yang mengalir dalam tubuh Datuak Parpatiah adalah darah yang merakyat pula. Lain halnya dengan Datuak Katumanggungan. Oleh karena ayahnya seorang raja, sifat-sifat yang turun kepadanya juga sifat-sifat raja.
Kelarasan yang ada di Minangkabau ada dua:
1.      Lareh Bodi Caniago
      Sistem pemerintahan ini disusun oleh nenek moyang kita yang bergelar Datuak Parpatiah nan Sabatang. Sistem ini disebut juga aturan Adat Bodi Caniago.
      Menurut Tambo, pada masa lalu wilayah Kelarasan Bodi Caniago meliputi Tanjuang Nan Ampek dan Lubuak Nan Tigo. Tanjuang Nan Ampek yaitu Tanjuang Alam, Tanjuang Sungayang, Tanjuang Barulak, dan Tanjuang Bingkuang. Lubuak Nan tigo yakni Lubuak Sikarah, Lubuak Simaung, dan Lubuak Sipunai.
      Sistem disini berlandaskan di nagari dan berdaulat kepada rakyat. Semboyannya adalah ”mambasuik dari bumi”, artinya sistem yang dipakai dalam pemerintahan bersumber dari ”bawah” yakni dari rakyat. Dalam melaksanakan kepemimpinannya, pangulu langsung kepada rakyat, tidak ada pembatas. Aliran ini ”barajo ka mupakat” (beraja kepada mufakat).
Asal Kata Bodi Caniago
      Bodi Caniago berasal dari kata dalam Bahasa Sanskerta yaitu bodhi, catni dan arga. Bodhi artinya pemikiran atau cara berpikir. Catni berarti elok, baik, atau bagus. Karena maksudnya berupa sifat bagi pemikiran maka catni dapat juga diartikan cerdas atau brilian. Sedangkan Arga berarti puncak atau keutamaan. 
      Jadi Bodhi Catni Arga dapat diartikan sebagai puncak pemikiran yang brilian, atau puncak pemikiran yang cerdas. Maka, kelarasan Bodi Caniago dapat diartikan sebagai sebagai aliran atau paham yang menganut sistem kemasyarakatan yang mengutamakan cara berpikir yang cerdas
Moto Adat Kelarasan Bodi Caniago
      Moto adat Lareh Bodi Caniago, adalah : mambasuik dari bumi, tuah di sakato ; Duduak sahamparan, tagak sapamatang (Membersit dari bumi, keutamaan pada permufakatan ; duduk sehamparan, tegak sepematang).
      Membersit dari bumi ini maksudnya, muncul sebagai hasil analisis akal pikiran atau kecerdasan pemikiran manusia. Artinya, segala sesuatu perbuatan atau ketentuan dalam adat harus muncul sebagai hasil rumusan pemikiran manusia. 
      Namun sebelum menjadi sebuah aturan atau ketentuan, hal itu harus di musyawarahkan, hingga mendapatkan kata sepakat (Tuah Disakato). Jadi adat lareh Bodi Caniago lebih mengutamakan ijtihad dalam menyikapi berbagai urusan.
      Menurut adat Bodi Caniago, segala keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam masyarakat Minangkabau haruslah terlebih dahulu melalui mufakat. Hal ini disebut dengan barajo ka mupakaik, tuah disakato (barajo ka mupakaik, tuah disakato).
      Segala keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam masyarakat Minangkabau haruslah terlebih dahulu melewati proses mufakat, seperti tertuang dalam kata-kata adat berikut ini :
Putuih rundiang di sakato,
Rancak rundiang dipakati,
Di lahia alah samo nyato,
Di batin samo dilihati,
Talatak suatu di tampeknyo,
Di dalam cupak jo gantang,
Di lingkuang barih jo balabeh,
Nan dimakan mungkin jo patuik,
Dalam kandungan adat jo pusako,
Putuih rundiang di sakato,
Rancak rundiang dipakati,
Di lahia alah samo nyato,
Di batin samo dilihati,
Talatak suatu di tampeknyo,
Di dalam cupak jo gantang,
Di lingkuang barih jo balabeh,
Nan dimakan mungkin jo patuik,
Dalam kandungan adat jo pusako,
Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang
      Kelarasan Bodi Caniago sering juga disebut dengan adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Sedangkan Karena menurut sejarahnya, pada masa dahulu, Datuak Parpatiah Nan Sabatang berpendapat bahwa undang-undang yang sedang berlaku saat itu perlu dikoreksi dan diluruskan. Dalam bahasa hukum sekarang, mereka meminta agar undang-undang tersebut diamandemen. 
      Jadi, Kelarasan Bodi Caniago dirumuskan oleh nenek moyang kita zaman dahulu berdasarkan  pandangan-pandangan  dan masukan yang mendukung gagasan pembaruan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang tersebut.
      Karena itu aturan ini disebut juga dengan Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Datuak Parpatiah Nan Sabatang dalam berbagai cerita Tambo memang dikenal sebagai pemikir yang cerdas dan cendekia.
      Musyawarah menjadi inti dalam mengambil kebijaksanaan, rakyat selalu dilibatkan dalam mengambil ketetapan. Hal itu menunjukkan bahwa Bodi Caniago demokratis.
      Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang Nan Ampek, Lubuak Nan Tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)
  • Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
  • Tanjung Sungayang
  • Tanjuang Alam
  • Tanjuang Barulak
  • Lubuk Sikarah
  • Lubuk Sipunai
  • Lubuk Simawang

2.      Lareh Koto Piliang
      Sistem pemerintahan ini disusun oleh nenek moyang kita yang bergelar Datuak Katumanggungan. Peraturan ini disebut juga Adat Koto Piliang.
      Sistem ini berdaulat kepada raja, artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan raja (pemimpin). Menurut Koto Piliang, sembah datangnya dari rakyat dan titiah datangnya dari raja (pangulu). Oleh sebab itu dikatakan 'titiak dari ateh” (titik dari atas). Segala kebijakan datangnya dari atas, dan masyarakat tidak diikutsertakan. Pemerintahannya bersifat otokratis.
      Kebenaran berada di tangannya, semua tindakan harus dibenarkan oleh rakyatnya. Akan tetapi dalam memerintah, ia selalu bijaksana. Secara sekolas, mungkin Koto Piliang tidak memperlihatkan demokrasi. Akan tetapi, dalam menyusun ketentuan dan peraturan, ia tetap memakai demokrasi.
      Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
1.      Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
2.      Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
3.      Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
4.      Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang (ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
5.      Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll). Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya. Misalnya;
a)      Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu
b)      Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan
c)      Indomo untuk daerah pesisir barat utara.
d)     Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.
Langgam Nan Tujuah (7 daerah istimewa)
      Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan. Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:
  1. Pamuncak Koto Piliang >> Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
  2. Gajah Tongga Koto Piliang >> Daerahnya Silungkang & Padang Sibusuak
  3. Camin Taruih Koto Piliang >> Daerahnya Singkarak & Saningbaka
  4. Cumati Koto Piliang >> Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
  5. Perdamaian Koto Piliang >> Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
  6. Harimau Campo Koto Piliang >> Daerahnya Batipuh 10 Koto
  7. Pasak kungkuang Koto Piliang >> Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan
Sekilas Tentang Kedudukan Raja dalam Kelarasan Koto Piliang
      Dalam khazanah kelarasan Koto Piliang dikenal lembaga-lembaga yang bernama Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Lembaga-lembaga ini sudah ada sejak kelarasan Koto Piliang didirikan, berlanjut sampai masa pemerintahan Pagaruyung dan diteruskan sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, kelarasan Koto Piliang tampak mendominasi struktur dan gaya pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang aristokratis sesuai nilai-nilai dan falsafah yang dianut kerajaan-kerajaan Jawa. Nilai nilai feodal, sentralistik, otokratis dan aristokratis ini dibawa oleh Adityawarman yang kemudian dirajakan sebagai salah satu anggota Rajo Tigo Selo. Kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuk Katumanggungan ini memang berpandangan bahwa lembaga raja dalam hal ini Rajo Tigo Selo sangat dihormati. Kedudukan raja berada diatas segalanya menurut adat Koto Piliang.
      Oleh sebab itu di daerah rantau yang rajanya (raja-raja kecil) ditunjuk langsung oleh Pagaruyung sebagai perwakilan disana, aturan dan madzhab ketatanegaraan Koto Piliang sangat mendominasi. Sebagai contoh adalah di Rantau Pasaman, nagari-nagari seperti Talu, Pasaman, Lubuk Sikaping, Rao , Cubadak dan Kinali diperintah oleh raja-raja kecil dengan sistem kelarasan Koto Piliang, dimana pergantian kepemimpinan dilakukan secara turun temurun layaknya sistem monarki kerajaan. Berikut adalah raja-raja kecil yang memerintah di nagari-nagari tersebut:
  • Daulat Parik Batu di Pasaman
  • Tuanku Bosa di Talu
  • Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
  • Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
  • Daulat Yang dipertuan di Kinali
  • Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao
Berbeda halnya dengan kelarasan Koto Piliang yang mendudukkan raja di atas segalanya, kelarasan Bodi Caniago memposisikan raja dan lembaga raja hanya sebagai simbol pemersatu. Akibatnya walaupun kelarasan ini memiliki 7 daerah istimewa beserta pemimpin-pemimpinnya, tidak ada bagian struktur kelarasan ini yang menyatu secara struktural dengan pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Daerah-daerah penganut kelarasan Bodi Caniago tersebar di Luhak Agam,  Luhak Limopuluah, Solok dan sebagian kecil nagari di Luhak Tanah Datar (ex: Tanjung Sungayang). Daerah-daerah ini menganut kultur egaliterian dan anti sentralisme kekuasaan. Terbukti sebagian daerah-daerah di wilayah ini menjadi pendukung gerakan PRRI tahun 1957-1960 sebagai reaksi atas kebijakan sentralistik dari pusat kekuasaan di Jawa. Daerah-daerah wilayah ini pula yang paling bersemangat untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari setelah periode reformasi.
Dinamika Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai
      Pada awalnya Langgam Nan Tujuah beranggotakan sebagai berikut:
  1. Pamuncak Koto Piliang (Pemimpin Langgam Nan Tujuah) berkedudukan di Sungai Tarab Salapan Batua
  2. Perdamaian Koto Piliang (Juru Damai Sengketa antar Nagari) berkedudukan di Simawang Bukik Kanduang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang (Keamanan Dalam Negeri) berkedudukan di Sungai Jambu Lubuak Atan
  4. Harimau Campo Koto Piliang (Panglima Perang) berkedudukan di Batipuah Sapuluah Koto
  5. Camin Taruih Koto Piliang (Badan Penyelidik) berkedudukan di Singkarak Saniang Baka
  6. Cumati Koto Piliang (Pelaksana Hukum) berkedudukan di Tanjung Balik  Sulik Aia
  7. Gajah Tongga Koto Piliang (Benteng Selatan) berkedudukan di Silungkang Padang Sibusuak
Rajo Tigo Selo
      Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi yang disebut Limbago Rajo, masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja.
      Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan.  Pada awalnya institusi untuk Raja Alam dan Raja Adat disebut sebagai Rajo Duo Selo, namun setelah agama Islam masuk ke Minangkabau diangkatlah Raja Ibadat.
Rajo Tigo Selo Pada Masa Pagaruyung
      Pada masa pemerintahan Pagaruyung terdapat tiga istana untuk ketiga Raja yaitu :
  • Istana Ateh Ujuang di Balai Janggo tempat bersemayam Raja Adat
  • Istana Balai Rabaa di Gudam tempat bersemayam Raja Alam
  • Istana Ekor Rumpuik di Kampuang Tangah tempat bersemayam Raja  Ibadat
akan tetapi
  • Raja Alam berkedudukan di Pagaruyuang
  • Raja Adat berkedudukan di Buo
  • Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus
Basa Ampek Balai
      Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung Rajo Tigo Selo  dibantu oleh dewan menteri sejumlah empat orang yang disebut Basa Ampek Balai yang mempunyai tugas dan kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung. Pada awalnya Basa Ampek Balai beranggotakan sebagai berikut:
  1. Tuan Gadang di Batipuah, Harimau Campo Koto Piliang
  2. Datuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto Piliang
  3. Machudum di Sumaniak, Aluang Bunian Koto Piliang
  4. Indomo di Saruaso, Payuang Panji Koto Piliang
Setelah kuatnya agama Islam maka dirasa perlu untuk menambahkan pemimpin di bidang agama. Oleh karena itu struktur Basa Ampek Balai berubah menjadi :
  1. Datuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto Piliang
  2. Machudum di Sumaniak, Aluang Bunian Koto Piliang
  3. Indomo di Saruaso, Payuang Panji Koto Piliang
  4. Tuan Kadi di Padang Gantiang, Suluah Bendang Koto Piliang
Pada awalnya Tuan Gadang di Batipuah berdiri sendiri, namun kemudian menjadi bagian dari Basa Ampek Balai. Setelah Tuan Kadi menjadi anggota Basa Ampek Balai, Tuan Gadang kembali keluar dari struktur namun tetap memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur pemerintahan Pagaruyung. Ini disebabkan karena Tuan Gadang membawahi Nagari Batipuh yang merupakan nagari raksasa pada zaman itu, yang luas wilayahnya puluhan kali lipat dari nagari-nagari sekitar. Bahkan diantara orang-orang besar itu, hanya Tuan Gadang Batipuah yang berhak berdiri di hadapan Raja Alam.
Dalam hal pewarisan gelar dan jabatan, waris Raja turun kepada anaknya sedangkan waris  Tuan Gadang, Basa Ampek  Balai dan Langgam Nan Tujuah turun kepada kemenakan.









Perbedaan antara Kelarasan Bodi Caniago dengan Koto Piliang
Bodi Caniago
Koto Piliang
Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Katumangguangan
Berdaulat pada rakyat, diungkapkan:
putuih rundiangan dek sakato
rancak rundiangan disapakati 
kato surang dibulek-i 
kato basamo kato mufakat 
saukua mako manjadi, sasuai mako takanak 
tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati 
di lahia lah samo nyato, di batin buliah diliek-i
Berpusat pada pimpinan, diungkapkan:
nan babarih nan bapaek 
nan baukua nan bacoreng 
titiak dari ateh, turun dari tanggo 
tabujua lalu, tabalintang patah
Semboyannya mambasuik dari bumi
Semboyannya titiak dari ateh
Bersifat demokratis
Bersifat otokratis
Pengambilan keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi masyarakatnya ikut dilibatkan.
Pengambilan keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan.
Penggantian gelar pusaka secara hiduik bakarelaan, artinya penghulu bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya
Penggantian gelar pusaka secara mati batungkek budi, artinya penghulu baru bisa diganti jika sudah meninggal
Pewarisan gelar disebut gadang bagilia, artinya gelar penghulu boleh digilirkan pada kaum mereka walau bukan saparuik, asalkan melalui musyawarah adat
Pewarisan gelar disebut patah tumbuah hilang baganti, artinya gelar penghulu harus tetap di pihak mereka yang saparuik (sekeluarga).
Rumah gadang lantainya rata saja dari ujung sampai pangkal
Rumah gadang mempunyai anjung pada lantai kiri dan kanan
Menurut tambo, daerah kebesarannya:
·         Tanjuang Nan Ampek
1.      Tanjuang Alam
2.      Tanjuang Sungayang
3.      Tanjuang Barulak
4.      Tanjuang Bingkuang
·         Lubuak Nan Tigo
1.      Lubuak Sikarah
2.      Lubuak Simauang
3.      Lubuak Sipunai
Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Bunta.
Menurut tambo, daerah kebesarannya:
·         Langgam Nan Tujuah
1.      Singkarak – Saningbaka
2.      Sulik Aia – Tanjuang Balik
3.      Padang Gantiang
4.      Saruaso
5.      Labutan – Sungai Jambu
6.      Batipuah
7.      Simawang – Bukik Kanduang
·         Basa Ampek Balai
1.      Sungai Tarab
2.      Saruaso
3.      Padang Gantiang
4.      Sumaniak
Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Panjang.
Kekuasaan penghulu sama di nagari, disebut pucuak tagerai.
Penghulunya bertingkat-tingkat,disebut pucuak bulek, urek tunggang. Tingkatannya adalah panghulu pucuak, panghulu kaampek suku, dan panghulu andiko.

Singkatnya, perbedaan antara Adat Koto Piliang dengan Bodi Caniago
1.      Memutuskan Perkara
Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingan dimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.
2.      Mengambil Keputusan
Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).
3.      Pengganti Gelar Pusaka
Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.
4.      Kedudukan Penghulu
Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).
5.      Balai Adat dan Rumah Gadang
Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.


Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan Bodi Caniago adalah gaya kepemimpinan Demokratis yang dalam konsepnya adalah gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan , dengan penekanan pada rasa tangggungjawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada “person atau individu pemimpinnya”, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu mau mendengarkan nasihat dan sugesti bawahan, juga bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing, mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
Ini dapat dilihat dari Semboyan yang dimiliki Kelarasan Bodi Caniago yaitu mambasuik dari bumi yang menggambarkan bahwa semua keputusan berasal dari bawah (masyarakat), dimana masyarakat melakukan musyawarah dan mengambil mufakat untuk kemudian dijadikan sebagai keputusan yang secara otomatis disetujui bersama oleh semua pihak. Dalam Kelarasan Bodi Caniago, pengambilan keputusan harus berdasarkan mufakat dengan kata lain setiap keputusan harus berdasarkan kesepakatan bersama yang melibatkan masyarakat di dalamnya, bukan hanya tergantung pada pemimpinnya saja.
Kriteria Kepemimpinan Kelarasan Bodi Caniago
·         Sistem kepemimpinan yang berdaulat kepada rakyat
·         Segala keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam masyarakat Minangkabau haruslah terlebih dahulu melalui mufakat
·         Rakyat boleh menyampaikan aspirasinya terhadap keputusan pemimpin
·         Keputusan yang telah ditetapkan bisa diubah/diamandemen apabila berdasarkan hasil mufakat tidak disetujui oleh rakyat banyak
·         Pemimpin dipilih berdasarkan hasil mufakat
·         Pengambilan keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi masyarakatnya ikut dilibatkan.
·         Pemimpin bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya
·         Pewarisan gelar berdasarkan musyawarah dan mufakat adat.
Sedangkan gaya kepemimpinan Koto Piliang adalah gaya kepemimpinan otokratis yang dalam konsepnya adalah gaya kepemimpinan yang mendasarkan diri pada kekuatan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal pada a one-man show. Pemimpin berambisi sekali untuk merajai situasi, dan setiap perintah serta kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Anak buah tidak pernah diberi informasi mendetail mengenai rencana dan tindakan yang harus dilakukan. Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri.
Hal ini dapat dilihat dari Semboyan yang dimiliki Kelarasan Koto Piliang yaitu titiak dari ateh yang menggambarkan bahwa semua keputusan berasal dari atas (pemimpin), dimana pemimpin setiap keputusan yang dihasilkan itu berasal dari pemimpin tanpa dikoordinasikan terlebih dahulu kepada masyarakat, sehingga dalam hal ini masyarakat hanya menerima apa yang telah ditetapkan dari atas. Semua keputusan berdasarkan kebijaksanaan dari atas, bukan berdasarkan keputusan bersama seperti yang terjadi pada Kelarasan Bodi Caniago.
Kriteria Kepemimpinan dalam Kelarasan Koto Piliang
·         Pemimpin mendominasi dalam pembuatan keputusan
·         Pengambilan keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan
·         Pemimipin baru bisa diganti jika sudah meninggal
·         Pewarisan berdasarkan garis keturunan penghulu yang memimpin sebelumnya
·         Hirarki kepemimpinannya jelas dengan pemimpin yang bertigkat-tingkat
·         Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah.


DAFTAR PUSTAKA

Azrial,Yulfian.1994. Budaya Alam Minangkabau. Sumatera Barat: Angkasa Raya.
http://www.sumbaronline.com/berita-1404-kelarasan-bodi-chaniago.html