TUGAS
KEPEMIMPINAN
ORGANISASI PUBLIK
OLEH
PAHALA
JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ANDALAS
2011
Kepemimpinan
Dalam Kelarasan di Minangkabau
Lareh atau laras artinya kesesuaian atau
kesepakatan. Yang dimaksudkan di sini adalah kesepakatan antara nenek moyang
suku Minangkabau untuk mengatur masyarakatnya. Jadi, lareh atau laras bisa juga
disebut sebagai sistem pemerintahan. Nenek moyang yang melahirkan kesepakatan
ini dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.
Datuak Parpatiah adalah saudara seibu
dengan Datuak Katumanggungan, tetapi bapaknya berbeda. Ayah datuak
Katumanggungan adalah seorang raja, yang diberi gelar Sri maharaja Diraja.
Sedangkan ayah Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai, orang
biasa yang bertugas sebagai pembantu raja. Sejak kecil, keduanya sering
berkelahi, sampai dewasa pun mereka berbeda pendapat.
Cati Bilang Pandai adalah seorang yang
dekat dengan rakyat, ia orang yang bijaksana, suka bermusyawarah dalam
mengambil keputusan. Oleh karena itu, darah yang mengalir dalam tubuh Datuak
Parpatiah adalah darah yang merakyat pula. Lain halnya dengan Datuak Katumanggungan.
Oleh karena ayahnya seorang raja, sifat-sifat yang turun kepadanya juga
sifat-sifat raja.
Kelarasan
yang ada di Minangkabau ada dua:
1. Lareh Bodi Caniago
Sistem
pemerintahan ini disusun oleh nenek moyang kita yang bergelar Datuak Parpatiah
nan Sabatang. Sistem ini disebut juga aturan Adat Bodi Caniago.
Menurut Tambo, pada masa lalu wilayah Kelarasan Bodi Caniago
meliputi Tanjuang Nan Ampek dan Lubuak Nan Tigo. Tanjuang Nan Ampek yaitu
Tanjuang Alam, Tanjuang Sungayang, Tanjuang Barulak, dan Tanjuang Bingkuang.
Lubuak Nan tigo yakni Lubuak Sikarah, Lubuak Simaung, dan Lubuak Sipunai.
Sistem
disini berlandaskan di nagari dan berdaulat kepada rakyat. Semboyannya adalah
”mambasuik dari bumi”, artinya sistem yang dipakai dalam pemerintahan bersumber
dari ”bawah” yakni dari rakyat. Dalam melaksanakan kepemimpinannya, pangulu
langsung kepada rakyat, tidak ada pembatas. Aliran ini ”barajo ka mupakat”
(beraja kepada mufakat).
Asal Kata Bodi Caniago
Bodi Caniago
berasal dari kata dalam Bahasa Sanskerta yaitu bodhi, catni dan arga. Bodhi
artinya pemikiran atau cara berpikir. Catni berarti elok, baik, atau bagus.
Karena maksudnya berupa sifat bagi pemikiran maka catni dapat juga diartikan
cerdas atau brilian. Sedangkan Arga berarti puncak atau keutamaan.
Jadi Bodhi
Catni Arga dapat diartikan sebagai puncak pemikiran yang brilian, atau puncak
pemikiran yang cerdas. Maka, kelarasan Bodi Caniago dapat diartikan sebagai
sebagai aliran atau paham yang menganut sistem kemasyarakatan yang mengutamakan
cara berpikir yang cerdas
Moto Adat Kelarasan Bodi Caniago
Moto adat
Lareh Bodi Caniago, adalah : mambasuik dari bumi, tuah di sakato ; Duduak
sahamparan, tagak sapamatang (Membersit dari bumi, keutamaan pada permufakatan
; duduk sehamparan, tegak sepematang).
Membersit
dari bumi ini maksudnya, muncul sebagai hasil analisis akal pikiran atau
kecerdasan pemikiran manusia. Artinya, segala sesuatu perbuatan atau ketentuan
dalam adat harus muncul sebagai hasil rumusan pemikiran manusia.
Namun sebelum
menjadi sebuah aturan atau ketentuan, hal itu harus di musyawarahkan, hingga
mendapatkan kata sepakat (Tuah Disakato). Jadi adat lareh Bodi Caniago lebih
mengutamakan ijtihad dalam menyikapi berbagai urusan.
Menurut adat
Bodi Caniago, segala keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam
masyarakat Minangkabau haruslah terlebih dahulu melalui mufakat. Hal ini
disebut dengan barajo ka mupakaik, tuah disakato (barajo ka mupakaik, tuah
disakato).
Segala
keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam masyarakat Minangkabau
haruslah terlebih dahulu melewati proses mufakat, seperti tertuang dalam
kata-kata adat berikut ini :
Putuih rundiang di sakato,
Rancak rundiang dipakati,
Di lahia alah samo nyato,
Di batin samo dilihati,
Talatak suatu di tampeknyo,
Di dalam cupak jo gantang,
Di lingkuang barih jo balabeh,
Nan dimakan mungkin jo patuik,
Dalam kandungan adat jo pusako,
Putuih rundiang di sakato,
Rancak rundiang dipakati,
Di lahia alah samo nyato,
Di batin samo dilihati,
Talatak suatu di tampeknyo,
Di dalam cupak jo gantang,
Di lingkuang barih jo balabeh,
Nan dimakan mungkin jo patuik,
Dalam kandungan adat jo pusako,
Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Kelarasan
Bodi Caniago sering juga disebut dengan adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Sedangkan Karena menurut sejarahnya, pada masa dahulu, Datuak Parpatiah Nan
Sabatang berpendapat bahwa undang-undang yang sedang berlaku saat itu perlu
dikoreksi dan diluruskan. Dalam bahasa hukum sekarang, mereka meminta agar
undang-undang tersebut diamandemen.
Jadi,
Kelarasan Bodi Caniago dirumuskan oleh nenek moyang kita zaman dahulu
berdasarkan pandangan-pandangan dan masukan yang mendukung gagasan
pembaruan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang tersebut.
Karena itu
aturan ini disebut juga dengan Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Datuak
Parpatiah Nan Sabatang dalam berbagai cerita Tambo memang dikenal sebagai
pemikir yang cerdas dan cendekia.
Musyawarah
menjadi inti dalam mengambil kebijaksanaan, rakyat selalu dilibatkan dalam
mengambil ketetapan. Hal itu menunjukkan bahwa Bodi Caniago demokratis.
Kelarasan
Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan
Koto Piliang, yang disebut Tanjuang Nan Ampek, Lubuak Nan Tigo (juga tujuh
daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)
- Tanjuang
Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
- Tanjung
Sungayang
- Tanjuang
Alam
- Tanjuang
Barulak
- Lubuk
Sikarah
- Lubuk
Sipunai
- Lubuk
Simawang
2. Lareh Koto Piliang
Sistem
pemerintahan ini disusun oleh nenek moyang kita yang bergelar Datuak
Katumanggungan. Peraturan ini disebut juga Adat Koto Piliang.
Sistem ini berdaulat kepada raja, artinya kekuasaan tertinggi
berada di tangan raja (pemimpin). Menurut Koto Piliang, sembah datangnya dari
rakyat dan titiah datangnya dari raja (pangulu). Oleh sebab itu dikatakan
'titiak dari ateh” (titik dari atas). Segala kebijakan datangnya dari atas, dan
masyarakat tidak diikutsertakan. Pemerintahannya bersifat otokratis.
Kebenaran berada di tangannya, semua tindakan harus dibenarkan
oleh rakyatnya. Akan tetapi dalam memerintah, ia selalu bijaksana. Secara
sekolas, mungkin Koto Piliang tidak memperlihatkan demokrasi. Akan tetapi,
dalam menyusun ketentuan dan peraturan, ia tetap memakai demokrasi.
Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang
dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
1. Panitiahan
– berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
2. Makhudum
– berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
3. Indomo
– berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
4. Tuan
Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang (ditambah
seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
5. Tuan
Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang
Setiap
Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah
kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat
kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti
Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll). Setiap Basa diberi wewenang oleh
raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai,
pengaturan wilayah dan sebagainya. Misalnya;
a) Datuk
Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu
b) Makhudum
untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan
c) Indomo
untuk daerah pesisir barat utara.
d) Tuan
Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Pada
setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang
mengepalai nagari-nagari tersebut.
Langgam Nan Tujuah (7 daerah istimewa)
Di
dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh
seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di
bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan
tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan. Langgam nan tujuh itu terdiri
dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:
- Pamuncak
Koto Piliang >> Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
- Gajah
Tongga Koto Piliang >> Daerahnya Silungkang & Padang Sibusuak
- Camin
Taruih Koto Piliang >> Daerahnya Singkarak & Saningbaka
- Cumati
Koto Piliang >> Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
- Perdamaian
Koto Piliang >> Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
- Harimau
Campo Koto Piliang >> Daerahnya Batipuh 10 Koto
- Pasak
kungkuang Koto Piliang >> Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan
Sekilas Tentang Kedudukan Raja dalam
Kelarasan Koto Piliang
Dalam khazanah kelarasan Koto Piliang dikenal
lembaga-lembaga yang bernama Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek
Balai. Lembaga-lembaga ini sudah ada sejak kelarasan Koto Piliang didirikan,
berlanjut sampai masa pemerintahan Pagaruyung dan diteruskan sampai saat ini.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, kelarasan Koto Piliang tampak
mendominasi struktur dan gaya pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang aristokratis
sesuai nilai-nilai dan falsafah yang dianut kerajaan-kerajaan Jawa. Nilai nilai
feodal, sentralistik, otokratis dan aristokratis ini dibawa oleh Adityawarman
yang kemudian dirajakan sebagai salah satu anggota Rajo Tigo Selo. Kelarasan
Koto Piliang yang didirikan oleh Datuk Katumanggungan ini memang berpandangan
bahwa lembaga raja dalam hal ini Rajo Tigo Selo sangat dihormati. Kedudukan
raja berada diatas segalanya menurut adat Koto Piliang.
Oleh
sebab itu di daerah rantau yang rajanya (raja-raja kecil) ditunjuk langsung
oleh Pagaruyung sebagai perwakilan disana, aturan dan madzhab ketatanegaraan
Koto Piliang sangat mendominasi. Sebagai contoh adalah di Rantau Pasaman,
nagari-nagari seperti Talu, Pasaman, Lubuk Sikaping, Rao , Cubadak dan Kinali
diperintah oleh raja-raja kecil dengan sistem kelarasan Koto Piliang, dimana
pergantian kepemimpinan dilakukan secara turun temurun layaknya sistem monarki
kerajaan. Berikut adalah raja-raja kecil yang memerintah di nagari-nagari
tersebut:
- Daulat Parik Batu di Pasaman
- Tuanku Bosa di Talu
- Rajo
Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
- Tuanku
Rajo Sontang di Cubadak
- Daulat
Yang dipertuan di Kinali
- Yang Dipertuan Padang Nunang di
Rao
Berbeda
halnya dengan kelarasan Koto Piliang yang mendudukkan raja di atas segalanya,
kelarasan Bodi Caniago memposisikan raja dan lembaga raja hanya sebagai simbol
pemersatu. Akibatnya walaupun kelarasan ini memiliki 7 daerah istimewa beserta
pemimpin-pemimpinnya, tidak ada bagian struktur kelarasan ini yang menyatu
secara struktural dengan pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Daerah-daerah
penganut kelarasan Bodi Caniago tersebar di Luhak Agam, Luhak Limopuluah,
Solok dan sebagian kecil nagari di Luhak Tanah Datar (ex: Tanjung Sungayang).
Daerah-daerah ini menganut kultur egaliterian dan anti sentralisme kekuasaan.
Terbukti sebagian daerah-daerah di wilayah ini menjadi pendukung gerakan PRRI
tahun 1957-1960 sebagai reaksi atas kebijakan sentralistik dari pusat kekuasaan
di Jawa. Daerah-daerah wilayah ini pula yang paling bersemangat untuk kembali
ke sistem pemerintahan nagari setelah periode reformasi.
Dinamika Langgam Nan Tujuah, Rajo
Tigo Selo dan Basa Ampek Balai
Pada
awalnya Langgam Nan Tujuah beranggotakan sebagai berikut:
- Pamuncak Koto Piliang (Pemimpin
Langgam Nan Tujuah) berkedudukan di Sungai Tarab Salapan Batua
- Perdamaian Koto Piliang (Juru
Damai Sengketa antar Nagari) berkedudukan di Simawang Bukik Kanduang
- Pasak Kungkuang Koto Piliang
(Keamanan Dalam Negeri) berkedudukan di Sungai Jambu Lubuak Atan
- Harimau
Campo Koto Piliang (Panglima Perang) berkedudukan di Batipuah Sapuluah
Koto
- Camin
Taruih Koto Piliang (Badan Penyelidik) berkedudukan di Singkarak Saniang
Baka
- Cumati
Koto Piliang (Pelaksana Hukum) berkedudukan di Tanjung Balik Sulik
Aia
- Gajah Tongga Koto Piliang
(Benteng Selatan) berkedudukan di Silungkang Padang Sibusuak
Rajo Tigo Selo
Rajo
Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi yang disebut Limbago Rajo,
masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal
dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu
Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja.
Raja
Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah
peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut
keagamaan. Pada awalnya institusi untuk Raja Alam dan Raja Adat disebut
sebagai Rajo Duo Selo, namun setelah agama Islam masuk ke Minangkabau
diangkatlah Raja Ibadat.
Rajo Tigo Selo Pada Masa Pagaruyung
Pada
masa pemerintahan Pagaruyung terdapat tiga istana untuk ketiga Raja yaitu :
- Istana Ateh Ujuang di Balai
Janggo tempat bersemayam Raja Adat
- Istana Balai Rabaa di Gudam
tempat bersemayam Raja Alam
- Istana Ekor Rumpuik di Kampuang
Tangah tempat bersemayam Raja Ibadat
akan tetapi
- Raja Alam berkedudukan di
Pagaruyuang
- Raja
Adat berkedudukan di Buo
- Raja Ibadat berkedudukan di
Sumpur Kudus
Basa Ampek Balai
Dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung Rajo Tigo Selo dibantu oleh
dewan menteri sejumlah empat orang yang disebut Basa Ampek Balai yang mempunyai
tugas dan kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada
nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung. Pada awalnya
Basa Ampek Balai beranggotakan sebagai berikut:
- Tuan Gadang di Batipuah,
Harimau Campo Koto Piliang
- Datuak
Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto Piliang
- Machudum
di Sumaniak, Aluang Bunian Koto Piliang
- Indomo di Saruaso, Payuang
Panji Koto Piliang
Setelah
kuatnya agama Islam maka dirasa perlu untuk menambahkan pemimpin di bidang
agama. Oleh karena itu struktur Basa Ampek Balai berubah menjadi :
- Datuak Bandaro Putiah di Sungai
Tarab, Pamuncak Alam Koto Piliang
- Machudum di Sumaniak, Aluang
Bunian Koto Piliang
- Indomo di Saruaso, Payuang
Panji Koto Piliang
- Tuan Kadi di Padang Gantiang,
Suluah Bendang Koto Piliang
Pada
awalnya Tuan Gadang di Batipuah berdiri sendiri, namun kemudian menjadi bagian
dari Basa Ampek Balai. Setelah Tuan Kadi menjadi anggota Basa Ampek Balai, Tuan
Gadang kembali keluar dari struktur namun tetap memiliki kedudukan yang tinggi
dalam struktur pemerintahan Pagaruyung. Ini disebabkan karena Tuan Gadang
membawahi Nagari Batipuh yang merupakan nagari raksasa pada zaman itu, yang
luas wilayahnya puluhan kali lipat dari nagari-nagari sekitar. Bahkan diantara
orang-orang besar itu, hanya Tuan Gadang Batipuah yang berhak berdiri di
hadapan Raja Alam.
Dalam hal
pewarisan gelar dan jabatan, waris Raja turun kepada anaknya sedangkan
waris Tuan Gadang, Basa Ampek Balai dan Langgam Nan Tujuah turun
kepada kemenakan.
Perbedaan antara Kelarasan Bodi
Caniago dengan Koto Piliang
Bodi Caniago
|
Koto Piliang
|
Dikembangkan
dan dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang
|
Dikembangkan
dan dipimpin oleh Datuak Katumangguangan
|
Berdaulat
pada rakyat, diungkapkan:
putuih rundiangan dek sakato
rancak rundiangan disapakati
kato surang dibulek-i
kato basamo kato mufakat
saukua mako manjadi, sasuai mako takanak
tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati
di lahia lah samo nyato, di batin buliah
diliek-i
|
Berpusat
pada pimpinan, diungkapkan:
nan babarih nan bapaek
nan baukua nan bacoreng
titiak dari ateh, turun dari tanggo
tabujua lalu, tabalintang patah
|
Semboyannya mambasuik dari bumi
|
Semboyannya titiak dari ateh
|
Bersifat
demokratis
|
Bersifat
otokratis
|
Pengambilan
keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan
kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi
masyarakatnya ikut dilibatkan.
|
Pengambilan
keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan
datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan.
|
Penggantian
gelar pusaka secara hiduik
bakarelaan, artinya penghulu bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi
melaksanakan tugasnya
|
Penggantian
gelar pusaka secara mati
batungkek budi, artinya penghulu baru bisa diganti jika sudah meninggal
|
Pewarisan
gelar disebut gadang
bagilia, artinya gelar penghulu boleh digilirkan pada kaum mereka walau
bukan saparuik, asalkan
melalui musyawarah adat
|
Pewarisan
gelar disebut patah tumbuah
hilang baganti, artinya gelar penghulu harus tetap di pihak mereka yang saparuik (sekeluarga).
|
Rumah gadang lantainya rata
saja dari ujung sampai pangkal
|
Rumah gadang mempunyai anjung pada
lantai kiri dan kanan
|
Menurut
tambo, daerah kebesarannya:
·
Tanjuang
Nan Ampek
1.
Tanjuang
Alam
2.
Tanjuang
Sungayang
3.
Tanjuang
Barulak
4.
Tanjuang
Bingkuang
·
Lubuak
Nan Tigo
1.
Lubuak
Sikarah
2.
Lubuak
Simauang
3.
Lubuak
Sipunai
Susunan kebesaran ini
dinamakan Lareh Nan Bunta.
|
Menurut
tambo, daerah kebesarannya:
·
Langgam
Nan Tujuah
1.
Singkarak
– Saningbaka
2.
Sulik
Aia – Tanjuang Balik
3.
Padang
Gantiang
4.
Saruaso
5.
Labutan
– Sungai Jambu
6.
Batipuah
7.
Simawang
– Bukik Kanduang
·
Basa
Ampek Balai
1.
Sungai
Tarab
2.
Saruaso
3.
Padang
Gantiang
4.
Sumaniak
Susunan kebesaran ini
dinamakan Lareh Nan Panjang.
|
Kekuasaan penghulu sama di nagari, disebut pucuak
tagerai.
|
Penghulunya
bertingkat-tingkat,disebut pucuak
bulek, urek tunggang. Tingkatannya adalah panghulu pucuak, panghulu
kaampek suku, dan panghulu andiko.
|
Singkatnya, perbedaan antara Adat
Koto Piliang dengan Bodi Caniago
1.
Memutuskan
Perkara
Menghadapi
sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada
“…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin
buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingan dimufakati, dilahir
sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau
menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati,
dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama,
sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan
baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo
bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh
dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau
peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus
dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.
2.
Mengambil
Keputusan
Dalam
mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang
dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato
nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang
makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko
takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari
bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata
yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan
kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan,
putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi).
Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem
musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan
Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo,
tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang
dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…”
(titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata
sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di
palit yang menitik ditampung).
3.
Pengganti
Gelar Pusaka
Pada
lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti
gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu
sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin
anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi”
(lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang
“baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru
bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.
4.
Kedudukan
Penghulu
Pada
lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu
pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada
penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah
sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat
tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya
“sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).
5.
Balai
Adat dan Rumah Gadang
Balai
adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di
tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai
yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau
tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga
bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia
duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada
lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja.
Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara
substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada
azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam
penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan
umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah
kebudayaan umat manusia sendiri.
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan Bodi
Caniago adalah gaya kepemimpinan Demokratis yang dalam konsepnya adalah gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang
efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua
bawahan , dengan penekanan pada rasa tangggungjawab internal (pada diri
sendiri) dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan
terletak pada “person atau individu pemimpinnya”, akan tetapi kekuatan justru
terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan
demokratis menghargai potensi setiap individu mau mendengarkan nasihat dan
sugesti bawahan, juga bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan
bidangnya masing-masing, mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif
mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
Ini
dapat dilihat dari Semboyan yang dimiliki Kelarasan Bodi Caniago yaitu mambasuik
dari bumi yang
menggambarkan bahwa semua keputusan berasal dari bawah (masyarakat), dimana
masyarakat melakukan musyawarah dan mengambil mufakat untuk kemudian dijadikan
sebagai keputusan yang secara otomatis disetujui bersama oleh semua pihak.
Dalam Kelarasan Bodi Caniago, pengambilan keputusan harus berdasarkan mufakat
dengan kata lain setiap keputusan harus berdasarkan kesepakatan bersama yang
melibatkan masyarakat di dalamnya, bukan hanya tergantung pada pemimpinnya
saja.
Kriteria
Kepemimpinan Kelarasan Bodi Caniago
·
Sistem
kepemimpinan yang berdaulat kepada rakyat
·
Segala
keputusan yang akan diambil dan akan dilaksanakan dalam masyarakat Minangkabau
haruslah terlebih dahulu melalui mufakat
·
Rakyat
boleh menyampaikan aspirasinya terhadap keputusan pemimpin
·
Keputusan
yang telah ditetapkan bisa diubah/diamandemen apabila berdasarkan hasil mufakat
tidak disetujui oleh rakyat banyak
·
Pemimpin
dipilih berdasarkan hasil mufakat
·
Pengambilan
keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan
bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi masyarakatnya ikut
dilibatkan.
·
Pemimpin
bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya
·
Pewarisan
gelar berdasarkan musyawarah dan mufakat adat.
Sedangkan
gaya kepemimpinan Koto Piliang adalah gaya kepemimpinan otokratis yang dalam
konsepnya adalah gaya kepemimpinan yang mendasarkan diri pada kekuatan dan
paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai
pemain tunggal pada a one-man show. Pemimpin berambisi sekali untuk merajai
situasi, dan setiap perintah serta kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi
dengan bawahannya. Anak buah tidak pernah diberi informasi mendetail mengenai
rencana dan tindakan yang harus dilakukan. Semua pujian dan kritik terhadap
segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri.
Hal
ini dapat dilihat dari Semboyan yang dimiliki Kelarasan Koto Piliang yaitu titiak
dari ateh
yang menggambarkan
bahwa semua keputusan berasal dari atas (pemimpin), dimana pemimpin setiap
keputusan yang dihasilkan itu berasal dari pemimpin tanpa dikoordinasikan
terlebih dahulu kepada masyarakat, sehingga dalam hal ini masyarakat hanya
menerima apa yang telah ditetapkan dari atas. Semua keputusan berdasarkan
kebijaksanaan dari atas, bukan berdasarkan keputusan bersama seperti yang
terjadi pada Kelarasan Bodi Caniago.
Kriteria
Kepemimpinan dalam Kelarasan Koto Piliang
·
Pemimpin
mendominasi dalam pembuatan keputusan
·
Pengambilan
keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan
datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan
·
Pemimipin
baru bisa diganti jika sudah meninggal
·
Pewarisan
berdasarkan garis keturunan penghulu yang memimpin sebelumnya
·
Hirarki
kepemimpinannya jelas dengan pemimpin yang bertigkat-tingkat
·
Pemimpin
juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi
jalan keluar bila anggota mengalami masalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Azrial,Yulfian.1994.
Budaya Alam Minangkabau.
Sumatera Barat: Angkasa Raya.
http://www.sumbaronline.com/berita-1404-kelarasan-bodi-chaniago.html
Makasih banyak banyak banyak infonya^^
BalasHapus