TUGAS PSIKOLOGI
SOSIAL
“TAWURAN PELAJAR”: DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF
PERILAKU AGRESI
OLEH
PAHALA
JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ANDALAS
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di
SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode
yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm
and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan
tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik
dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari
identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran
tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara
sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”.
“Tawuran” mungkin kata tersebut sering
kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan
baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini
beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan
berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana
saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks
perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun
kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa
dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering
kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini
bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini
sangatlah memprihatinkan bagi kita semua.
Hal yang terjadi pada saat tawuran
sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi
itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian,
1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat,
berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara
singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain
atau merusak milik orang lain.
Banyaknya tawuran antar pelajar di
kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Di sini
penulis akan memberi beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang
pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan
setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH
MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang
pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta
dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September
2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Tidak hanya
pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada
tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran
dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah
(tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November
2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com).
Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu di sini.
Tawuran pelajar secara kuantitas
sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI
Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang
atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai
1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa
dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga
kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan
ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara
material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau
pelemparan bus umum.
Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson
dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On
Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological
Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan
suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya
para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara
positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak.
Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekanisme-mekanisme
utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian
yang agresif – kognisi agresif.
M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski,
Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low
Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency
menunjukkan bahwa self-esteem bisa meramalkan masalah-masalah
pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak berusia 11 tahun dengan
self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans,
Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression
menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon
agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun
penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat
juga memainkan peran dalam agresi.
Berdasarkan uraian diatas penulis
bermaksud memandang tawuran dengan memahami beberapa perspektif perilaku agresi
dan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang tersurat dalam
pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut,
Bagaimana teori agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara mencegah
terjadinya tawuran pelajar?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Pengertian
Agresi walaupun merupakan konsep yang
sangat familiar tetapi tampaknya tidak
mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi.
mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi.
Sebaliknya,
niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan
sebagai
perilaku agresi.
perilaku agresi.
Perilaku agresif adalah perilaku fisik
atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang
lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan
(hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain
atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku
agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2)
agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai
emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain
selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk
membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan,
perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam
Sarwono,2002).
Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak
pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan
emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.
B. Bentuk-bentuk Agresi
Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa
fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang,
melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/
luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat
verbal seperti mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang
kasar/ kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.
C. Teori-Teori Agresi
1.
Teori
Frustrasi – Agresi
Teori frustrasi-agresi atau
hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa
bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan
timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang
untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam
Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi
karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan
dorongan yang harus disalurkan.
2.
Teori
Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih
memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3.
Teori
Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang
untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tawuran Merupakan Perilaku Agresif
yang Marak Dilakukan di Kalangan Pelajar
Tawuran merupakan salah satu bentuk
perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan
yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
Masa Remaja merupakan masa manusia mencari
jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan
menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh
orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah
terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya
untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya
diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Pada fase ini, remaja termasuk kelompok
yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group
deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya
bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan
yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman.
Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam
kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah
letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan
dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
B. Pandangan teori Agresi terhadap
Sebab Terjadinya Tawuran
Tawuran pelajar merupakan salah satu
bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang
marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas.
Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok
kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi
jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah
menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk
kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan
senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi
yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu,
tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di
dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya
kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran
merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1.
Teori
Frustrasi – Agresi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah
akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi
sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku
agresi.
Frustrasi
yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya
tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini
memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut.
Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang
sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah
lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
Banyak
juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap
saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang
yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Perspektif
frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller,
Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka
menyatakan bahwa dalam setiap frustasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada
tahun 1941, Miller menyatakan bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang
berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi.
Perilaku
agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan
Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul
dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar
dibandingkan dengan halangan yang disebabkan diri sendiri. Hasil penelitian
Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong
perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena
orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak
menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan
dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Dollard
dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku
agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam
kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber
frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2.
Teori
Belajar Sosial
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar
menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau
pun mainan yang bertema kekerasan.
Acara-acara
yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan
yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga.
Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian
yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate
Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali
mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun
diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
penontonnya.
Model
pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan
tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin
mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat
dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan
tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi
sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam
penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect
Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive
Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa
video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap
anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game
kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi
pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan
secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka
panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
Selain
model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung
secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksikan
tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang
melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di
lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan
rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu
dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model
kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di
toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta
anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya
permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak di masa
mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita
temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan
perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal
kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa
mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah
sesuatu yang menyenangkan.
Permainan
lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station
yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan
yang mengasikkan.
3.
Teori
Kualitas Lingkungan
Teori
kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah.
Setidaknya ada 3 faktor yang
mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah
Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem
pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak
betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan
kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas
interaksi edukatif di sekolah.
Kedua
dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif, pola asuh yang tidak tepat
(pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak
harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan
mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak
jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti
perkelahian.
Kondisi
lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak,
akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia
sekitarnya.
Bagi
remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan
nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada
kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari
norma dan pengawasan di rumah.
Remaja
yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa
adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil.
Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian
akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M.
Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan
Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression,
Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung
meningkat agresinya pada umur 13.
C.
Upaya
Mengatasi Tawuran
1.
Dengan
memandang masa remaja merupakan periode storm and drang period (topan dan
badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah
menyimpang.
Maka pelajar sendiri perlu mengisi
waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti
kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll.
2.
Lingkungan
keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:
a. Mengasuh anak dengan baik.
·
Penuh
kasih sayang
·
Penanaman
disiplin yang baik
·
Ajarkan
membedakan yang baik dan buruk
·
Mengembangkan
kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
·
Mengembangkan
harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.
b. Ciptakan suasana yang hangat dan
bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c. Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang
tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti:
memukul, menghina dan mencemooh.
d. Memperkuat kehidupan beragama
Yang
diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang
terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.
e. Melakukan pembatasan dalam menonton
adegan film yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan
permainan video game yang cocok dengan usianya.
f. Orang tua menciptakan suasana
demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan social yang
baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan
menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga
timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku
normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal,
tindakan kekerasan, dsb.
3.
Sekolah
juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:
a. Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan
yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu
berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.
b. Pendirian suatu sekolah baru perlu
dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut
perlu untuk penyaluran agresivitas
remaja.
remaja.
c. Sekolah yang siswanya terlibat
tawuran perlu menjalin komunikasi dan
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
"tradisional bermusuhan" itu.
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
"tradisional bermusuhan" itu.
4.
LSM
dan Aparat Kepolisian
LSM di sini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di
sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat
menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menanggulangi
tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia
terhadap siswa yang membawa senjata tajam.
DAFTAR
PUSTAKA
A,
Craig. Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive
Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior.
American Psychologycal Society 2001, (353-359).
Baron,
R.A., dan Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction.
Boston: Allyn & Bacon.
Brent,
M. Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and
Delinquency. Research Article. American Psychological Society 2005, (328-335).
Bringham,
J.C., Social Psychology. New York: Harper colligns. Publishers Inc.
Diekmann,
Andreas. Social Status and Aggression. The Journal of Social Psichology 1996,
136(6), (761-768).
Prabowo,
H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
Sarwono,
S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”.
Jakarta : Balai Pustaka.
Watson,
D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and
Foresmanand Co.
Worchel,
S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey
Press.
www.liputan6.com.
www.liputan6.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar