MAKALAH
OTONOMI
KHUSUS PAPUA DALAM KAITANNYA DENGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
TUGAS
AKHIR
SISTEM
POLITIK INDONESIA
OLEH
PAHALA
JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ANDALAS
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perjalanan
otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji,
karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut
pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasannya. Sejak kemerdekaan sampai saat ini distribusi
kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah selalu bergerak
pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat
dengan menggunakan konsep bandul, yang selalu bergerak secara sistematis pada
dua sisi yaitu pusat dan daerah. Dengan kata lain, bahwa pada suatu kesempatan
bobot kekuasaan terletak pada Pemerintahan Pusat, pada kesempatan lain bobot
kekuasaan ada pada Pemerintah Daerah.
Sebenarnya, wacana otonomi daerah berarti
menyangkut ruang kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang telah
diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah yang berarti tidak lain
berbicara mengenai substansi dari otonomi daerah. Di sisi lain tuntutan otonomi
daerah seharusnya dipandang sebagai
upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan terfokus pada
tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan
tetapi suatu instrument untuk mencapai tujuan (Fesler, 1965, Leemans 1970).
Namun demikian sejak Indonesia merdeka, cita-cita
desentralisasi dan otonomi daerah tidak pernah berada benar-benar bila
diwujudkan seperti yang diimpikan Bung hatta. Semangat dan praktik sentralisasi
yang berlebihan di satu pihak, tampaknya merupakan faktor penting di balik
kegagalan agenda desentralisasi yang dicanangkan pemerintah-pemerintah
sebelumnya. Dalam situasi peralihan yang diwarnai tuntutan pemisahan diri
sejumlah daerah seperti Aceh, Papua, Timor-Timor, dan Riau itulah kebijakan
otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
disepakati bersama oleh DPR produk Pemilu 1997, parlemen warisan Orde Baru, dan
pemerintahan BJ Habibie lahir dan diundangkan.
Otonomi khusus Papua sebagaimana termuat dalam UU No.
21/2001 memiliki banyak dimensi. Di antaranya adalah perlindungan dan
pemberdayaan hak-hak dan identitas orang asli Papua (termasuk hak-hak
masyarakat adat Papua) secara politik, social, kebudayaan dan ekonomi;
penyelesaian pelanggaran HAM dan upaya mencari rekonsiliasi melalui klasifikasi
sejarah Papua di dalam republik Indonesia; peningkatan mutu sumberdaya manusia
Papua melalui terobosan-terobosan dan pendekatan yang berpihak dalam bidang
pendidikan, kesehatan, perekonomian dan ketenagakerjaan; penataan berbagai
aspek pembangunan dan kehidupan bermasyarakat seperti kependudukan, penegakan
hukum, pembangunan berwawasan lingkungan, dan pengawasan; penciptaan tata
pemerintahan yang baik, transparan, professional dan akuntabel di semua lini
mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, distrik, sampai ke
kampung-kampung; dan berbagai hal lain.
1.2 Kerangka Teori
Teori-teori
yang mendukung adanya Otonomi Khusus Papua ini dapat dilihat dari
diskusi-diskusi dengan para ahli maupun dengan lembaga-lembaga tertentu. Dalam
diskusi tersebut, terdapat pandangan-pandangan menyangkut pemberian status
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Seperti yang diungkapkan pada saat diskusi
dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APHI) yang mengatakan bahwa APHI sangat
menghargai upaya rakyat Papua untuk menyelesaikan berbagai masalah yang
dihadapi di Tanah Papua dengan cara menyusun dan mengusulkan Rancangan
Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam bentuk Wilayah
Berpemerintahan Sendiri. APHI mengakui bahwa pada sistem yang lama, dimana
politik penyelenggaran negara sangat sentralistis, mereka tidak dapat berbuat
banyak bagi kesejahteraan rakyat dan provinsi Irian Jaya. Sistem politik yang
lama, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang berlaku, kurang
memungkinkan masyarakat setempat dan perusahaan-perusahaan pengelola hasil
hutan untuk co-exist secara damai dan
saling memberikan manfaat. Karena itu, pasal-pasal terkait yang terkandung di
dalam RUU Otsus Papua dapat menjembatani hal ini.
Di pihak lain
juga, Asmara Nababan, SH mengatakan bahwwa RUU Otonomi Khusus usulan rakyat
Papua dinilainya sebagai suatu jalan tengah terbaik untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di Tanah Papua, termasuk dalam hubungannya dengan
Pemerintah Pusat. Beliau juga menekankan tentang pentingnya RUU ini memuat
penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di waktu lalu, termasuk soal pelurusan
sejarah Papua, dan dikembangkannya upaya-upaya sistematis untuk mencegah
terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, apapun bentuknya, di waktu-waktu
mendatang. Dalam kaitan itu ia mengatakan kesediaannya untuk ikut serta
memebrikan pendapat apabila diundang oleh DPR RI.
Paradigma
tentang Otonomi Khusus Papua ini juga disampaikan oleh Prof. Budhisantoso yang
mengatakan bahwa penyusunan dan muatan yang terkandung daam Rancangan
Undang-Undang Otonomi Khusus tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945, bahkan sebaliknya menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan pijaknya. Di sisi lain Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
ini juga dapat dipahami sebagai koreksi terhadap ketidakadilan yang dirasakan
oleh masyarakat di tanah Papua. Diakui bahwa di masa lampau ada praktik
ketidakadilan. Karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan koreksi dalam rangka
perbaikan. Upaya ini harus dilakukan dengan mengedepankan semangat untuk
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paradigma-paradigma
di atas, semuanya mendukung langkah rakyat Papua menyusun Rancangan
Undang-Undang Otonomi Khusus dengan harapan bahwa tanah Papua dapat bangkit
dari keterpurukan sebagai akibat dari ketidakadilan pemerintah pusat pada masa
lalu kepada rakyat Papua atas sumberdaya alam yang dimilikinya. Dengan adanya
Otonomi Khusus ini, rakyat Papua mampu bangkit dan membangun tanah Papua dan
pada hasil akhir mampu bersaing dengan daerah-daerah lain yang berada dalam
Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dimulainya
Reformasi Otonomi Daerah
Reformasi yang ada pada saat ini di
bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan nasional baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan Tap
MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigm baru tatanan pemerintah
daerah.
Paradigma baru pemerintahan daerah
memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada
tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggungjawab
publik Pemerintah Daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods).
Kesemuanya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan, dan egaliter yang
berarti menempatkan priorotas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka
Tunggal Ika.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi
dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui
pemberdayaan masyarakat. Melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki
nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang
cukup luas kepada Pemerintah Daerah guna mengatur dan mengurus serta
mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya.
2.2 Otonomi Daerah
Sebagai Paradigma Baru
Pemberlakuan
otonomi daerah sebenarnya merupakan suatu pilihan politis sebagai dampak
penerapan bentuk negara kesatuan dengan cirri terpusatnya kekuasaan. Akibatnya,
tuntutan aspirasi masyarakat di daerah tidak terpenuhi dan lambat laun
menumbuhkan kekecewaan. Ketika kondisi telah matang, tercipta momentum yang
menggerakkan arus balik. Jika dulu, dari daerah ke pusat, kini dari pusat ke
daerah.
Beberapa
prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam persiapan dan
pelaksanaan otonomi daerah adalah: pertama, otonomi daerah harus dilaksanaan
dalam konteks negara kesatuan; kedua, pelaksanaan otonomi daerah menggunakan
tata cara desentralisasi dengan demikian peran daerah sangat menentukan;
ketiga, pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari mendefinisikan
kewenangan, organisasi, personal kemudian diikuti dengan keuangan, bukan
sebaliknya; keempat, adanya perimbangan keuangan baik perimbangan
horizontal/antar daerah (antar provinsi dan antarkabupaten/kota dalam satu
provinsi) maupun perimbangan vertikal, antara pusat dan daerah; kelima, fungsi
Pemerintah Pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (politik
luar negeri, Hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain), maupun untuk mengatasi ketimpangan antardaerah.
Persoalan yang
dihadapi daerah adalah keragaman dalam banyak hal, misalnya potensi ekonomi,
sumber daya alam, SDM, infrastruktur, kultur, dan lain-lain; sehingga
pelaksanaan otonomi secara seragam akan menghadapi masalah yang cukup serius.
Ini tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, apakah bisa
mengadopsi keragaman tersebut dengan memberikan, fleksibilitas, dalam
pelaksanaannya, atau bahkan dirasa perlu beberapa pasal direvisi, berdasarkan
aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui DPR.
2.3 Prinsip
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah
pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat bagi terwujudnya cita-cita
keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang
berorientasi kepada kepentingan rakyat tidak akan pernah terwujud apabila pada
saat yang sama agenda demokratisasi tidak berlangsung. Dengan kata lain,
otonomi daerah yang di satu sisi bisa meminimalisir konflik pusat-daerah, dan
di sisi lain dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan
bagi masyarakat, hanya mungkin diagendakan dalam kerangka besar demokratisasi
kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Otonomi daerah harus
diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan
bangsa.
Selain itu,
otonomi daerah harus juga dilihat sebagai otonomi masyarakat daerah, bukan
otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari cara pandang seperti ini
adalah kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan,
pelayanan, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sebagai hak yang melekat pada
masyarakat, otonomi daerah pada hakikatnya tidak dapat dicabut oleh pemerintah
pusat. Namun demikian, pemerintah pusat, melalui persidangan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) dapat mencabut dan/atau mengurangi hak dan kewenangan pemerintahan
daerah yang dianggap gagal dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
2.4 Asas dan
Tujuan Otonomi Daerah
Asas dan
tujuan dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah suatu yang penting dan
bersifat mendasar, karena berhubungan dengan format desentralisasi dan
kebijakan otonomi daerah yang hendak direkomendasikan di sini adalah saling
percaya dan saling menghormati (mutual
trust and mutual respect), saling melengkapi, dan kesalingtergantungan,
baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah,
maupun antara rakyat dan pemerintah dalam rangka mewujudkan suatu Indonesia
yang utuh, adil, demokratis, dan sejahtera.
Tujuan dari
kebijakan otonomi daerah ada 2 (dua), yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum kebijakan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitan keadilan,
demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh unsure bangsa yang beragam di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh. Adapun tujuan khusus dari
kebijakan otonomi daerah adalah (1) meningkatkan keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dan proses pembuatan keputusan maupun implementasinya sehingga
terwujud suatu pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif,
dan akuntabel; (2) memberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi
keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bagi
tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan sah; (3) memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara langsung dan
demokratis; (4) membangun kesalingpercayaan antarmasyarakat di satu pihak, dan
antara masyarakat dan pemerintahan di pihak lain.
2.5 Pengertian
Otonomi Khusus
Otonomi Khusus
bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah
terbentuk berbagai pemahaman yang negative mengenai Otonomi di kalangan rakyat
Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan
Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu
daerah otonomi, merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini.
Istilah
“otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat
Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti
kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan
tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat
dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan. Hal ini yang
tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan social,
budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan
sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini
penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya
yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya.
Istilah
“khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada
Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal
seperti tingkat social ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik.
Dalam pengertian praktisannya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada
hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di
daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di
Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.
2.6 Nilai-nilai
Dasar
2.6.1
Perlindungan
terhadap Hak-Hak Dasar Penduduk Asli Papua
Perlindungan
terhadap hak-hak dasar orang Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupannya:
1)
Perlindungan
hak hidup orang Papua di Tanah Papua yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas
dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara
baik dan proporsional.
2)
Perlindungan
hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya.
3)
Perlindungan
hak-hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.
4)
Perlindungan
hak-hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan
pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.
5)
Perlindungan
kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang
diyakininya,tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan
6)
Perlindungan
kebudayaan dan istiadat orang Papua.
2.6.2
Demokrasi
dan Kedewasaan Berdemokrasi
Rakyat Papua
perlu terus mengembangkan kemampuannya untuk berdemokrasi secara dewasa yang
ditinjukkan dengan kemampuan utnuk menghargai pluralisme atas dasar suku,
agama, dan perbedaan-perbedaan sosial lainnya. Rakyat Papua juga perlu secara
optimal memanfaatkan berbagai perangkat demokrasi yang tersedia dalam sutau
negara modern seperti partai politik, pemilihan umum dan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat agar berbegai aspirasi yang dimiliki dapat disalurkan secara
baik dan memiliki legalitas yang kuat dan efektif demi tercapainya kehidupan
berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab.
2.6.3
Penghargaan
terhadap Etika dan Moral
Etika dan
Moral merupakan tuntutan hidup orang Papua sejak dahulu yang telah dikembangkan
oleh nenek moyang dan merupakan bagian dari adat-istiadat. Etika dan Moral ini
kemudian diperkaya oleh ajaran-ajaran agama Kristen Protestan, Katolik, Islam,
dan agama-agama lain yang dipeluk oleh orang-orang Papua sejak kurang lebih 200
tahun lalu. Penghargaan etika dan moral inilah yang memungkinkan Tanah Papua
hingga kini masih jauh lebih aman dibandingkan beberapa daerah tertentu di
Indonesia, walaupun ada pihak-pihak yang terus menerus menyebarluaskan kesan
bahwa Papua adalah daerah yang rawan keamanan. Hubungan sosial yang erat dan
saling menghormati antarsesama warga Tanah Papua yang terus dipertahankan
bahkan dikembangkan hingga saat ini adalah akibat adanya penghargaan terhadap
etika dan moral yang telah ada sejak dahulu.
2.6.4
Penghormatan
terhadap Hak-hak Asasi Manusia
Pelaksanaan
pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakukan dengan
mengubah total semua praktik-praktik pembangunan di masa lalu, yang mengabaikan
bahkan melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan kekuatan keamanan dan militer
yang berlebihan dan melanggar HAM di waktu lalu, yang mengakibatkan banyak
rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di dalam era Otonomi
Khusus ini. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses ini secara
damai dan bermartabat dan sekaligus membangun kerangka-kerangka dasar dalam
rangka penyelesaian tuntas masalah-masalah yang terkait dengan pelurusan
sejarah ini.
2.6.5
Penegakan
Supremasi Hukum
Rakyat Papua
pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada
kepentingan orang banyak, diwadahi dalam suatu sistem yang professional dan
bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri
teladan bagi masyarakat. Keadaan yang disebutkan di atas merupakan salah satu
modal dasar yang ampuh dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat di Tanah
Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua, supremasi hukum harus dapat ditegakkan
dan terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan, proses peradilan
dan penegakan HAM.
2.6.6
Penghargaan
terhadap Pluralisme
Penghargaan
akan pluralisme yang telah dianut sejak dahulu harus terus dapat dipelihara dan
dimanfaatkan di Tanah Papua dalam era Otonomi Khusus. Penghargaan akan
pluralisme yang dimaksud adalah barang tentu harus diwarnai dengan keberpihakan
secara tegas kepada mereka yang paling menderita, paling tertinggal, dan berada
pada hierarki paling bawah dalam hal akses terhadap berbagai fasilitas
kesejahteraan sosial, ekonomi, dan budaya.
2.6.7
Persamaan
Kedudukan, Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara
Penegakan
supremasi hukum perlu disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat Papua,
termasuk kalangan aparat pemerintah dan keamanan tentang hak dan kedudukan
sebagai warganegara yang sama di depan hukum, dan harus dilaksanakan secara
bijaksana dengan peka terhadap kondisi objektif sebagian besar penduduk di
Papua yang kondisi sosial, ekonomi, dan politiknya memerlukan
perlindungan-perlindungan tertentu. Dengan perkataan lain, perlindungan yang
diberikan itu harus mampu mengembangkan kemampuan diri masyarakat Papua untuk
dalam waktu yang secepatnya dapat
terlayani hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajibannya sama seperti semua warga
negara lain.
2.7 Garis-garis
Besar pokok pikiran yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
2.7.1
Pembagian
Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua
Salah satu
inti pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah pembagian kewenangan
pemerintahan antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan
kewenangan ini bukan semata-mata senagai konsekuensi pemberian status otonomi
khusus, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip
demokratisasi penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan
sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya
sendiri secara nyata.
Dengan
menggunakan semangat seperti ini, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk
mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1) Politik luar
negeri yaitu bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan penuh mengurus politik
luar negeri negara, dan Provinsi Papua termasuk ke dalamnya.
(2) Pertahanan
terhadap ancaman eksternal yaitu bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab penuh
untuk menangkal setiap ancaman eksternal yang bertujuan untuk menghancurkan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Moneter yaitu
pada dasarnya pengaturan sistem moneter di Provinsi Papua diatur oleh
Pemerintah Pusat, namun tidak menutup kemungkinan bagi Provinsi Papua untuk
memiliki sistem mata uang sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih
memberikan keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua.
(4) Peradilan
Kasasi yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama dan tingkat banding
dilakukan di Provinsi Papua, sementara peradilan tingkat kasasi dilakukan di
tingkat nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan sistem hukum di Provinsi Papua
tetap merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Diluar keempat
kewenangan pemerintahan pusat seperti dikemukakan tersebut, semua kewenangan
bidang pemerintahan lain menjadi urusan penuh pemerintahan Provinsi Papua. Hal
ini sekaligus pula berarti bahwa semua ketentuan perundang-undangan Republik
Indonesia yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undangundang Otonomi
Khusus Papua tidak berlaku di Provinsi Papua.
2.7.2
Pembagian
Kewenangan di dalam Provinsi Papua
Otonomi Khusus
Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis antara pemerintah tingkat provinsi
dan kabupaten/kota, namun pada saat yang sama provinsi, kabupaten/kota dan
kampung masing-masing adalah daerah otonom yang memiliki kewenangannya
sendiri-sendiri. Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan
secara proporsional ke bawah, terutama untuk berbagai hal yang langsung
berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsisten dengan salah satu prinsip dasar
otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam konteks Otonomi
Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan berada di tingkat provinsi
sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat diberikan
sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.
Untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan bersih, dan
sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta
mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk
empat badan/ lembaga, yaitu:
1) Lembaga
Eksekutif
Tingkat Provinsi dipimpin seorang
Gubernur dan di tingkat Kabupaten/ Kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota.
Gubernur, Bupati, dan Walikota dipimpin lembaga legislatif. Lembaga eksekutif
berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Gubernur dipilih oleh
Lembaga Legislatif.
2) Lembaga
Legislatif
Lembaga Legislatif terdiri dari dua
badan yaitu Dewan perwakilan Rakyat dan Majelis Rakyat Papua. Sistem ini lazim
dikenal dengan istilah bikameral. Keanggotaan DPR adalah wakil-wakil partai
politik yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum. Keanggotaan MPR Papua
terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang
dipilih oleh rakyat. Selain bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh Lembaga Eksekutif, Majelis Rakyat
Papua juga berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan tugas Dewan perwakilan Rakyat.
3) Lembaga Adat
Mengatur segala sesuatu yang terkait
dengan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum adat tertentu.
4) Lembaga
Peradilan
Berpedoman pada sistem hukum nasional
Indonesia. Penyelesaian-penyelesaian perkara menurut hukum adat juga
diberlakukan di Papua.
2.7.3
Ekonomi
dan Keuangan
Fokus utama
yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi di Tanah Papua adalah:
1) Memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua
yang selama ini terabaikan atau terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi.
2) Mengembangkan
kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua, untuk terlibat
secara nyata dalam semua jenis kegiatan perekonomian.
3) Memastikan
bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa sekarang tidak mengabaikan
menurunnya kualitas kehidupan generasi Papua di masa depan.
Karena
itu, pembangunan ekonomi di Tanah Papua dilakukan dengan berpedoman pada
hal-hal berikut ini:
1) Semua usaha
perekonomian di Provinsi Papua, termasuk pemanfaatan sumberdaya alamnya,
dilakukan untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi
seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan,
pemerataan, melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi
pengusaha, serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
2) Pengolahan
lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud
pada butir di atas diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di Tanah Papua.
3) Perizinan dan
perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak
merugikan masyarakat asli Papua dan tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat
Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
4) Pembangunan
perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat.
5) Perundingan
yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan penanam modal
harus melibatkan masyarakat adat.
Papua tidak
berlaku di Provinsi Papua.
2.7.4
Kesehatan
dan Gizi
Rendahnya mutu
indikator-indikator kependudukan orang-orang asli Papua sesungguhnya merupakan
refleksi dari rendahnya mutu kesehatan dan gizi penduduk Papua, terutama
orang-orang asli Papua. Hal tersebut terefleksi secara jelas dalam Rancangan
Undang-undang Otonomi Khusus yang mengatur bahwa Pemerintah Provinsi
berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bermutu
bagi penduduk.
Untuk menjamin
bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat dinikmati oleh seluruh peduduk
Papua, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, ditempuh dua
pendekatan:
1) Setiap
penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan beban biaya
yang serendah-rendahnya, dan
2) Peranan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan sebesar-besarnya kepada lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
Hal yang sama
berlaku pula untuk program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk Papua,
terutama untuk memenuhi kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu hamil dan
balita.
2.7.5
Keagamaan
Salah satu
realitas terpenting dari kebebasan suara hati nurani adalah kebebasan beragama.
Dalam kebebasan seperti ini, setiap orang berhak untuk menentukan sendiri
bagaimana ia beragama, ia juga berhak untuk hidup sesuai dengan keyakinan
agamanya, ia juga berhak untuk mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain
sepanjang orang itu bersedia tanpa paksaan menerima komunikasi itu, ia juga
berhak untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru yang diyakininya, dan
bahkan ia pun berhak untuk tidak didiskriminasikan kaerna agama atau
keyakinannya.
Di dalam
Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada hak-hak manusia universal, setiap
penduduk Papua dijamin hak dan kebebasannya untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing. Maka, agar tercipta suasana yang kondusif bagi
pembangunan keagamaan di Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk:
1) Menjamin
kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama di Tanah Papua
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
2) Menghormati
nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama
3) Mengakui
otonomi lembaga keagamaan
4) Memberikan
dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proposional berdasarkan jumlah
umat dan tidak bersifat mengikat.
2.8 Isu-isu
Terkait dengan Papua
2.8.1
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut
catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak
Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumlah pelanggaran HAM di Papua seperti
berikut ini:
1) Di Kabupaten
Paniai, sejak tahun 1969-1997 diketahui korban meninggal dunia adalah sebanyak
614 orang akibat pembunuhan oleh aparat negara. Korban hilang mencapai 13
orang. Korban pemerkosaan dari tahun 1980 sampai1995 sebanyak 80 orang yang
mencakup pelajar SD, SMTP, SMTA sampai ibu rumah tangga.
2) Di Kabupaten
Jayawijaya terjadi pula pelanggaran HAM dalam skala signifikan. Di Kecamatan
Kelila, pada tahun 1979 diketahui korban meninggal sebanyak 201 orang. Di
Kecamatan Assologaima pada tahun 1977 diketahui korban meninggal sebanyak 126
orang. Di Kecamatan Wasi pada tahun 1977 meninggal sebanyak 126 orang. Semua
korban ini diakibatkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara.
3) Di Kabupaten
Biak Numfor, dari tauhn 1969 sampai tahun 1997 diketahui telah timbul korban
kekerasan oleh aparat negara sebanyak 62 orang.
4) Di Kabupaten
Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun 1972 diketahui korban meninggal sebanyak 7
orang, hilang 5 orang, dan korban pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana di
kabupaten lain, mereka ini adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat
negara.
Dari data-data
di atas, ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian
secara tuntas dan bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di Provinsi
Papua. Yang pertama adalah mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait
dengan penyelesaian pelanggaran HAM, seperti cabang dari Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Peradilan HAM. Yang kedua adalah dengan melakukan
penelitian oleh suatu badan independen tentang sejarah integerasi Papua ke
dalam NKRI. Selain kedua pendekatan tersebut, pendekatan nilai-nilai budaya
masyarakat Papua juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah HAM ini.
2.8.2
Berbagai
Proklamasi Ilegal Papua
Para separatis
dewasa ini cenderung mendasarkan tuntutannya untuk merdeka sebagai hak satu
bangsa sebagaimana pernah dilakukan Indonesia dan tercantum dalam Pembukan UUD
1945. Untuk mengimplementasikan tuntutan tersebut, para separatis mengambil
secara fisik model Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bedanya adalah Proklamasi
Kemerdekaan RI sah menurut hukum di lain pihak proklamasi-proklamasi Papua
melawan hukum. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, selain itu, juga dilakukan
pada saat terjadinya vacum of power di
Indonesia sebagai akibat menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 tanpa
syarat. Belanda mendorong orang-orang Papua/ Irian untuk memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Inilah salah satu upaya mendirikan
sebuah negara boneka yang dijawab oleh Indonesia dengan Trikora (Tri Komando
Rakyat).
Pada tanggal 1
Juli 1971 sekelompok orang Papua dipimpin oleh Seth Rumkoren juga
memproklamasikan kemerdekaan “ Republic
of West Papua “. Menurut berita proklamasi ini dilakukan oleh Seth Rumkorem
secara lisan tanpa teks. Rumkorem belakangan lari ke luar negeri. Rupanya
proklamasi yang dilakukannya hanya sekedar untuk menarik simpati kalangan luar
negeri agar ia dapat diterima tinggal di negeri asing.
Pada tanggal
14 Desember 1988 Thomas Wanggai memimpin sebuah upacara bendera
memproklamasikan kemerdekaan Papua/ Irian dan atas itu yang bersangkutan telah
dijatuhi hukuman penjara atas tindak makar yang dilakukannya. Thomas Wanggai
menyebut apa yang diproklamirkannya tersebut sebagai negara Melanesia Barat.
Seandainya di
kemudian hari ada proklamasi-proklamasi kemerdekaan Papua seperti di atas maka
semua hal tersebut merupakan penentangan terhadap hukum Internasional terutama
Piagam PBB yang mengharuskan penghormatan terhadap keutuhan kedaulatan dan
wilayah sebuah negara merdeka, demikian juga terhadap hukum positif Indonesia,
jadi semuanya bersifat ilegal.
2.8.3
Isu
Islamisasi di Papua/ Irian
Salah satu isu
yang hingga kini terkadang muncul menyangkut Papua adalah adanya proses
islamisasi di Papua. Dilihat pada struktur masyarakat Papua/ Irian,
pemeluk-pemeluk agama nasrani adalah mayoritas. Kebetulan dunia barat memiliki
kebudayaan yang berakar pada kekristenan sekalipun tidak ada negara barat yang
berdasarkan agama. Fakta ini hendak digunakan para separatis agar memperoleh
simpatis dan dukungan dari masyarakat luar terutama masyarakat barat dengan
meniupkan isu adanya islamisasi di Papua/ Irian.
Agama Islam
sebenarnya sudah sejak lama masuk ke Papua/ Irian, bahkan sebelum Belanda
memasukkan daerah tersebut ke dalam Hindia Belanda. Hal ini sangat dimengerti
mengingat Papua/ Irian pernah masuk wilayah atau punya hubungan khusus dengan
Kesultanan Tidore dan lain-lain yang berbuadaya Islam.
Setelah selesainya
Pepera tahun 1969 memang banyak pendatang ke Papua/ Irian, baik dalam rangka
penempatan sebagai pegawai maupun untuk keperluan mencari nafkah, dan sebagian
dari pendatang tersebut adalah pemeluk Islam. Kebebasan warga negara dalam
bergerak dalam wilayah negaranya adalah hal yang lumrah dan sah secara hukum.
Setiap negara memang menjamin kebebasan warganya untuk bergerak di wilayahnya.
Pasal 12 ayat
1 dari The International Covenant n Civil and Political Rights yang telah
diratifikasi Indonesia (UU No. 12 Tahun 2005) menyebut:
“ Everyone lawfully within the territory
a state shal within that territory, have
the right to liberty of movement and
freedom to choose his residense.”
Orang-orang
Papua/ Irian yang berbudaya Kristen atau Nasrani juga banyak yang pindah ke
tempat lain, baik sebagai pegawai, mahasiswa, atau untuk keperluan lain, namun
tidak berarti mereka melakukan kristenisasi di tempat-tempat tersebut.
2.8.4
Isu
“Persetujuan Roma”
Pada tanggal
20 dan 21 Mei 1969, di Roma diselenggarakan pertemuan Menteri Luar Negeri Adam
Malik dengan Menteri Luar Negeri Mr. J. M. A. H. Luris disertai Menteri
Kerjasama pembangunan Belanda, Mr. B. J.
Udink. Diskusi kedua pihak lebih berfokus pada implementasi persetujuan New
York mengenai act of free choice dan
pembangunan ekonomi dan sosial di Irian Barat. Dalam kaitan ini, Menlu Adam
Malik menjelaskan persiapan yang dilakukan oleh pemeriantah Indonesia untuk
melakukan act of free choice setelah
dilakukan konsultasi jelas dan dengan persetujuan badan-badan musyawarah
setempat dengan saran, bantuan dan partisipasi Wakil Sekjen PBB, Dubes
Ortiz-Sanz dan stafnya. Menteri Luar Negeri Adam Malik juga menjelaskan bahwa
karena alasan praktis dan pertimbangan teknis maka act of free choice akan dilakukan dengan sistem musyawarah (mutual consultation).
Dalam
pertemuan ini, kedua pihak membahas kerjasama ekonomi dimana disepakati antara
lain Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah percepatan
implementasi proyek-proyek FUNDWI, untuk mana Belanda akan mengupayakan
pendanaan. Disepakati juga oleh kedua pihak untuk meminta ADB memberikan
bantuan teknis untuk Irian Barat. Adalah jelas bahwa join statement tidak
memuat janji kemerdekaan bagi Irian/ Papua Barat seperti diisukan oleh
pihak-pihak tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada awal
diterapkannya Otonomi Daerah di Indonesia memiliki banyak dukungan yang positif
dari tiap-tiap daerah di Provinsi. Rakyat dari tiap daerah seakan mendukung
penuh adanya kebijaksanaan baru tersebut. Daerah diberdayakan untuk mampu
mengemban tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Daerah
untuk bisa menggerakkan warganya menjadi warga negara yang aktif sehubungan
dengan daerah yang sedang dipimpinnya, tanpa memutuskan
hubungan yang baik kepada Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan
Otonomi Daerah, beberapa daerah mulai mencoba mengusulkan kepada Pemerintah
Pusat untuk merumuskan Otonomi Khusus bagi daerahnya, karena dengan adanya
Otonomi
Daerah di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan daerah-daerah tertentu seperti
yang dicontohkan adalah Papua tidak mampu bersaing diakibatkan pengaruh pola
pemerintahan yang lama (Sentralisasi) yang membuat kaku Papua dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Otonomi Khusus Papua dimaksudkan
agar Papua dapat mengejar ketertinggalannya yang jauh dari daerah-daerah lain
di Indonesia.
Otonomi Khusus
Papua memberikan harapan baru bagi Tanah Papua untuk mampu bertahan dalam
Negara Kesatuan Republi Indonesia, memperoleh kembali hak-haknya baik
dari sumberdaya alam yang dimilikinya maupun hak untuk berbicara dalam
kaitannya dengan partisipasi politik di Indonesia, juga untuk membangun
kesetaraan yang wajar dalam Republik Indonesia. Harapan-harapan tersebut
memberikan semangat bagi Tanah Papua, terutama penduduk asli Papua untuk
membangun daerahnya menuju Papua Baru.
3.2 Saran
Otonomi Khusus Papua ini memang banyak
mengandung pro dan kontra dari daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dari
pihak intern. Anggapan dari Rumusan Otonomi Khusus Papua ini adalah upaya
pemisahan diri Papua secara perlahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini bisa dilihat dari berbagai isu terkait tentang Tanah Papua. Isu-isu seperti
ini yang memancing asumsi-asumsi publik secaara luas untuk menggagalkan
Rancangan Otonomi Khusus Papua.
Tetapi, jika
melihat jauh lebih positif, upaya Tanah Papua ini dapat lebih kita perhatikan
demi kesetaraan yang wajar di dalam wilayah Republik Indonesia. Kita melihat
rancangan ini sebagai upaya Papua untuk bangkit dari keterpurukannya selama ini
dan menuju Papua Baru. Ini juga akan berdampak baik bagi pengembangan dan kemajuan
negara Indonesia. Kita dukung saja Rancangan Otonomi Khusus Papua ini selama
kebijakannya masih relevan sebagai negara kesatuan Republik Indonesia, dan
tidak menyimpang dari pada itu. Hanya saja pemerintah, agar lebih memperhatikan
Tanah Papua lebih dari wilayah lain mengingat tingkat pembangunannya yang
sangat minim, agar Papua tidak sampai merealisasikan keinginannya untuk
memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar