Senin, 04 Juni 2012

Otonomi Daerah


MAKALAH
OTONOMI KHUSUS PAPUA DALAM KAITANNYA DENGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA


TUGAS AKHIR
SISTEM POLITIK INDONESIA







OLEH
PAHALA JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003




PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2011



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
            Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Sejak kemerdekaan sampai saat ini distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul, yang selalu bergerak secara sistematis pada dua sisi yaitu pusat dan daerah. Dengan kata lain, bahwa pada suatu kesempatan bobot kekuasaan terletak pada Pemerintahan Pusat, pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada pada Pemerintah Daerah.
Sebenarnya, wacana otonomi daerah berarti menyangkut ruang kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah yang berarti tidak lain berbicara mengenai substansi dari otonomi daerah. Di sisi lain tuntutan otonomi daerah  seharusnya dipandang sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan terfokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrument untuk mencapai tujuan (Fesler, 1965, Leemans 1970).
Namun demikian sejak Indonesia merdeka, cita-cita desentralisasi dan otonomi daerah tidak pernah berada benar-benar bila diwujudkan seperti yang diimpikan Bung hatta. Semangat dan praktik sentralisasi yang berlebihan di satu pihak, tampaknya merupakan faktor penting di balik kegagalan agenda desentralisasi yang dicanangkan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Dalam situasi peralihan yang diwarnai tuntutan pemisahan diri sejumlah daerah seperti Aceh, Papua, Timor-Timor, dan Riau itulah kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disepakati bersama oleh DPR produk Pemilu 1997, parlemen warisan Orde Baru, dan pemerintahan BJ Habibie lahir dan diundangkan.
Otonomi khusus Papua sebagaimana termuat dalam UU No. 21/2001 memiliki banyak dimensi. Di antaranya adalah perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dan identitas orang asli Papua (termasuk hak-hak masyarakat adat Papua) secara politik, social, kebudayaan dan ekonomi; penyelesaian pelanggaran HAM dan upaya mencari rekonsiliasi melalui klasifikasi sejarah Papua di dalam republik Indonesia; peningkatan mutu sumberdaya manusia Papua melalui terobosan-terobosan dan pendekatan yang berpihak dalam bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan ketenagakerjaan; penataan berbagai aspek pembangunan dan kehidupan bermasyarakat seperti kependudukan, penegakan hukum, pembangunan berwawasan lingkungan, dan pengawasan; penciptaan tata pemerintahan yang baik, transparan, professional dan akuntabel di semua lini mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, distrik, sampai ke kampung-kampung; dan berbagai hal lain.

1.2     Kerangka Teori
Teori-teori yang mendukung adanya Otonomi Khusus Papua ini dapat dilihat dari diskusi-diskusi dengan para ahli maupun dengan lembaga-lembaga tertentu. Dalam diskusi tersebut, terdapat pandangan-pandangan menyangkut pemberian status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Seperti yang diungkapkan pada saat diskusi dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APHI) yang mengatakan bahwa APHI sangat menghargai upaya rakyat Papua untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi di Tanah Papua dengan cara menyusun dan mengusulkan Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri. APHI mengakui bahwa pada sistem yang lama, dimana politik penyelenggaran negara sangat sentralistis, mereka tidak dapat berbuat banyak bagi kesejahteraan rakyat dan provinsi Irian Jaya. Sistem politik yang lama, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang berlaku, kurang memungkinkan masyarakat setempat dan perusahaan-perusahaan pengelola hasil hutan untuk co-exist secara damai dan saling memberikan manfaat. Karena itu, pasal-pasal terkait yang terkandung di dalam RUU Otsus Papua dapat menjembatani hal ini.
Di pihak lain juga, Asmara Nababan, SH mengatakan bahwwa RUU Otonomi Khusus usulan rakyat Papua dinilainya sebagai suatu jalan tengah terbaik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di Tanah Papua, termasuk dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat. Beliau juga menekankan tentang pentingnya RUU ini memuat penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di waktu lalu, termasuk soal pelurusan sejarah Papua, dan dikembangkannya upaya-upaya sistematis untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, apapun bentuknya, di waktu-waktu mendatang. Dalam kaitan itu ia mengatakan kesediaannya untuk ikut serta memebrikan pendapat apabila diundang oleh DPR RI.
Paradigma tentang Otonomi Khusus Papua ini juga disampaikan oleh Prof. Budhisantoso yang mengatakan bahwa penyusunan dan muatan yang terkandung daam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, bahkan sebaliknya menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan pijaknya. Di sisi lain Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ini juga dapat dipahami sebagai koreksi terhadap ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di tanah Papua. Diakui bahwa di masa lampau ada praktik ketidakadilan. Karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan koreksi dalam rangka perbaikan. Upaya ini harus dilakukan dengan mengedepankan semangat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paradigma-paradigma di atas, semuanya mendukung langkah rakyat Papua menyusun Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus dengan harapan bahwa tanah Papua dapat bangkit dari keterpurukan sebagai akibat dari ketidakadilan pemerintah pusat pada masa lalu kepada rakyat Papua atas sumberdaya alam yang dimilikinya. Dengan adanya Otonomi Khusus ini, rakyat Papua mampu bangkit dan membangun tanah Papua dan pada hasil akhir mampu bersaing dengan daerah-daerah lain yang berada dalam Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah
            Reformasi yang ada pada saat ini di bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan nasional baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigm baru tatanan pemerintah daerah.
     Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggungjawab publik Pemerintah Daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuanya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan, dan egaliter yang berarti menempatkan priorotas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika.
     Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat. Melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada Pemerintah Daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya.

2.2     Otonomi Daerah Sebagai Paradigma Baru
Pemberlakuan otonomi daerah sebenarnya merupakan suatu pilihan politis sebagai dampak penerapan bentuk negara kesatuan dengan cirri terpusatnya kekuasaan. Akibatnya, tuntutan aspirasi masyarakat di daerah tidak terpenuhi dan lambat laun menumbuhkan kekecewaan. Ketika kondisi telah matang, tercipta momentum yang menggerakkan arus balik. Jika dulu, dari daerah ke pusat, kini dari pusat ke daerah.
Beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam persiapan dan pelaksanaan otonomi daerah adalah: pertama, otonomi daerah harus dilaksanaan dalam konteks negara kesatuan; kedua, pelaksanaan otonomi daerah menggunakan tata cara desentralisasi dengan demikian peran daerah sangat menentukan; ketiga, pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari mendefinisikan kewenangan, organisasi, personal kemudian diikuti dengan keuangan, bukan sebaliknya; keempat, adanya perimbangan keuangan baik perimbangan horizontal/antar daerah (antar provinsi dan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi) maupun perimbangan vertikal, antara pusat dan daerah; kelima, fungsi Pemerintah Pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (politik luar negeri, Hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain), maupun untuk mengatasi ketimpangan antardaerah.
Persoalan yang dihadapi daerah adalah keragaman dalam banyak hal, misalnya potensi ekonomi, sumber daya alam, SDM, infrastruktur, kultur, dan lain-lain; sehingga pelaksanaan otonomi secara seragam akan menghadapi masalah yang cukup serius. Ini tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, apakah bisa mengadopsi keragaman tersebut dengan memberikan, fleksibilitas, dalam pelaksanaannya, atau bahkan dirasa perlu beberapa pasal direvisi, berdasarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui DPR.


2.3     Prinsip Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat bagi terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepada kepentingan rakyat tidak akan pernah terwujud apabila pada saat yang sama agenda demokratisasi tidak berlangsung. Dengan kata lain, otonomi daerah yang di satu sisi bisa meminimalisir konflik pusat-daerah, dan di sisi lain dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masyarakat, hanya mungkin diagendakan dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa.
Selain itu, otonomi daerah harus juga dilihat sebagai otonomi masyarakat daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari cara pandang seperti ini adalah kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan, pelayanan, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sebagai hak yang melekat pada masyarakat, otonomi daerah pada hakikatnya tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Namun demikian, pemerintah pusat, melalui persidangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat mencabut dan/atau mengurangi hak dan kewenangan pemerintahan daerah yang dianggap gagal dalam menyelenggarakan otonomi daerah.

2.4     Asas dan Tujuan Otonomi Daerah
Asas dan tujuan dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah suatu yang penting dan bersifat mendasar, karena berhubungan dengan format desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah yang hendak direkomendasikan di sini adalah saling percaya dan saling menghormati (mutual trust and mutual respect), saling melengkapi, dan kesalingtergantungan, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, maupun antara rakyat dan pemerintah dalam rangka mewujudkan suatu Indonesia yang utuh, adil, demokratis, dan sejahtera.
Tujuan dari kebijakan otonomi daerah ada 2 (dua), yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitan keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh unsure bangsa yang beragam di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh. Adapun tujuan khusus dari kebijakan otonomi daerah adalah (1) meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan proses pembuatan keputusan maupun implementasinya sehingga terwujud suatu pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel; (2) memberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bagi tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan sah; (3) memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara langsung dan demokratis; (4) membangun kesalingpercayaan antarmasyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dan pemerintahan di pihak lain.

2.5     Pengertian Otonomi Khusus
Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negative mengenai Otonomi di kalangan rakyat Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini.
Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan. Hal ini yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan social, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya.
Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat social ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisannya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.

2.6     Nilai-nilai Dasar
2.6.1          Perlindungan terhadap Hak-Hak Dasar Penduduk Asli Papua
Perlindungan terhadap hak-hak dasar orang Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupannya:
1)         Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional.
2)         Perlindungan hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
3)         Perlindungan hak-hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.
4)         Perlindungan hak-hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.
5)         Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya,tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan
6)         Perlindungan kebudayaan dan istiadat orang Papua.
2.6.2          Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi
Rakyat Papua perlu terus mengembangkan kemampuannya untuk berdemokrasi secara dewasa yang ditinjukkan dengan kemampuan utnuk menghargai pluralisme atas dasar suku, agama, dan perbedaan-perbedaan sosial lainnya. Rakyat Papua juga perlu secara optimal memanfaatkan berbagai perangkat demokrasi yang tersedia dalam sutau negara modern seperti partai politik, pemilihan umum dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat agar berbegai aspirasi yang dimiliki dapat disalurkan secara baik dan memiliki legalitas yang kuat dan efektif demi tercapainya kehidupan berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab.
2.6.3          Penghargaan terhadap Etika dan Moral
Etika dan Moral merupakan tuntutan hidup orang Papua sejak dahulu yang telah dikembangkan oleh nenek moyang dan merupakan bagian dari adat-istiadat. Etika dan Moral ini kemudian diperkaya oleh ajaran-ajaran agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, dan agama-agama lain yang dipeluk oleh orang-orang Papua sejak kurang lebih 200 tahun lalu. Penghargaan etika dan moral inilah yang memungkinkan Tanah Papua hingga kini masih jauh lebih aman dibandingkan beberapa daerah tertentu di Indonesia, walaupun ada pihak-pihak yang terus menerus menyebarluaskan kesan bahwa Papua adalah daerah yang rawan keamanan. Hubungan sosial yang erat dan saling menghormati antarsesama warga Tanah Papua yang terus dipertahankan bahkan dikembangkan hingga saat ini adalah akibat adanya penghargaan terhadap etika dan moral yang telah ada sejak dahulu.
2.6.4          Penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia
Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktik-praktik pembangunan di masa lalu, yang mengabaikan bahkan melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan kekuatan keamanan dan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di waktu lalu, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di dalam era Otonomi Khusus ini. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat dan sekaligus membangun kerangka-kerangka dasar dalam rangka penyelesaian tuntas masalah-masalah yang terkait dengan pelurusan sejarah ini.
2.6.5          Penegakan Supremasi Hukum
Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam suatu sistem yang professional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat. Keadaan yang disebutkan di atas merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat di Tanah Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua, supremasi hukum harus dapat ditegakkan dan terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan, proses peradilan dan penegakan HAM.
2.6.6          Penghargaan terhadap Pluralisme
Penghargaan akan pluralisme yang telah dianut sejak dahulu harus terus dapat dipelihara dan dimanfaatkan di Tanah Papua dalam era Otonomi Khusus. Penghargaan akan pluralisme yang dimaksud adalah barang tentu harus diwarnai dengan keberpihakan secara tegas kepada mereka yang paling menderita, paling tertinggal, dan berada pada hierarki paling bawah dalam hal akses terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan sosial, ekonomi, dan budaya.
2.6.7          Persamaan Kedudukan, Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara
Penegakan supremasi hukum perlu disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat Papua, termasuk kalangan aparat pemerintah dan keamanan tentang hak dan kedudukan sebagai warganegara yang sama di depan hukum, dan harus dilaksanakan secara bijaksana dengan peka terhadap kondisi objektif sebagian besar penduduk di Papua yang kondisi sosial, ekonomi, dan politiknya memerlukan perlindungan-perlindungan tertentu. Dengan perkataan lain, perlindungan yang diberikan itu harus mampu mengembangkan kemampuan diri masyarakat Papua untuk dalam waktu yang secepatnya  dapat terlayani hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajibannya sama seperti semua warga negara lain.

2.7     Garis-garis Besar pokok pikiran yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
2.7.1          Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua
Salah satu inti pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah pembagian kewenangan pemerintahan antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan kewenangan ini bukan semata-mata senagai konsekuensi pemberian status otonomi khusus, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri secara nyata.
Dengan menggunakan semangat seperti ini, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1)     Politik luar negeri yaitu bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan penuh mengurus politik luar negeri negara, dan Provinsi Papua termasuk ke dalamnya.
(2)     Pertahanan terhadap ancaman eksternal yaitu bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab penuh untuk menangkal setiap ancaman eksternal yang bertujuan untuk menghancurkan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3)     Moneter yaitu pada dasarnya pengaturan sistem moneter di Provinsi Papua diatur oleh Pemerintah Pusat, namun tidak menutup kemungkinan bagi Provinsi Papua untuk memiliki sistem mata uang sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih memberikan keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua.
(4)     Peradilan Kasasi yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama dan tingkat banding dilakukan di Provinsi Papua, sementara peradilan tingkat kasasi dilakukan di tingkat nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan sistem hukum di Provinsi Papua tetap merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Diluar keempat kewenangan pemerintahan pusat seperti dikemukakan tersebut, semua kewenangan bidang pemerintahan lain menjadi urusan penuh pemerintahan Provinsi Papua. Hal ini sekaligus pula berarti bahwa semua ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undangundang Otonomi Khusus Papua tidak berlaku di Provinsi Papua.
2.7.2          Pembagian Kewenangan di dalam Provinsi Papua
Otonomi Khusus Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis antara pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun pada saat yang sama provinsi, kabupaten/kota dan kampung masing-masing adalah daerah otonom yang memiliki kewenangannya sendiri-sendiri. Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan secara proporsional ke bawah, terutama untuk berbagai hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsisten dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan berada di tingkat provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat diberikan sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat badan/ lembaga, yaitu:
1)       Lembaga Eksekutif
Tingkat Provinsi dipimpin seorang Gubernur dan di tingkat Kabupaten/ Kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipimpin lembaga legislatif. Lembaga eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Gubernur dipilih oleh Lembaga Legislatif.
2)       Lembaga Legislatif
Lembaga Legislatif terdiri dari dua badan yaitu Dewan perwakilan Rakyat dan Majelis Rakyat Papua. Sistem ini lazim dikenal dengan istilah bikameral. Keanggotaan DPR adalah wakil-wakil partai politik yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum. Keanggotaan MPR Papua terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang dipilih oleh rakyat. Selain bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh Lembaga Eksekutif, Majelis Rakyat Papua juga berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan tugas Dewan perwakilan Rakyat.
3)       Lembaga Adat
Mengatur segala sesuatu yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum adat tertentu.
4)       Lembaga Peradilan
Berpedoman pada sistem hukum nasional Indonesia. Penyelesaian-penyelesaian perkara menurut hukum adat juga diberlakukan di Papua.
2.7.3          Ekonomi dan Keuangan
Fokus utama yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi di Tanah Papua adalah:
1)       Memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua yang selama ini terabaikan atau terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi.
2)       Mengembangkan kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua, untuk terlibat secara nyata dalam semua jenis kegiatan perekonomian.
3)       Memastikan bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa sekarang tidak mengabaikan menurunnya kualitas kehidupan generasi Papua di masa depan.
Karena itu, pembangunan ekonomi di Tanah Papua dilakukan dengan berpedoman pada hal-hal berikut ini:
1)       Semua usaha perekonomian di Provinsi Papua, termasuk pemanfaatan sumberdaya alamnya, dilakukan untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan, melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi pengusaha, serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
2)       Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud pada butir di atas diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di Tanah Papua.
3)       Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak merugikan masyarakat asli Papua dan tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
4)       Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat.
5)       Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat.
Papua tidak berlaku di Provinsi Papua.
2.7.4          Kesehatan dan Gizi
Rendahnya mutu indikator-indikator kependudukan orang-orang asli Papua sesungguhnya merupakan refleksi dari rendahnya mutu kesehatan dan gizi penduduk Papua, terutama orang-orang asli Papua. Hal tersebut terefleksi secara jelas dalam Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus yang mengatur bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bermutu bagi penduduk.
Untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat dinikmati oleh seluruh peduduk Papua, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, ditempuh dua pendekatan:
1)       Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan beban biaya yang serendah-rendahnya, dan
2)       Peranan penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
Hal yang sama berlaku pula untuk program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk Papua, terutama untuk memenuhi kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu hamil dan balita.

2.7.5          Keagamaan
Salah satu realitas terpenting dari kebebasan suara hati nurani adalah kebebasan beragama. Dalam kebebasan seperti ini, setiap orang berhak untuk menentukan sendiri bagaimana ia beragama, ia juga berhak untuk hidup sesuai dengan keyakinan agamanya, ia juga berhak untuk mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain sepanjang orang itu bersedia tanpa paksaan menerima komunikasi itu, ia juga berhak untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru yang diyakininya, dan bahkan ia pun berhak untuk tidak didiskriminasikan kaerna agama atau keyakinannya.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada hak-hak manusia universal, setiap penduduk Papua dijamin hak dan kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka, agar tercipta suasana yang kondusif bagi pembangunan keagamaan di Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk:
1)       Menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama di Tanah Papua untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
2)       Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama
3)       Mengakui otonomi lembaga keagamaan
4)       Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proposional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

2.8     Isu-isu Terkait dengan Papua
2.8.1          Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumlah pelanggaran HAM di Papua seperti berikut ini:
1)       Di Kabupaten Paniai, sejak tahun 1969-1997 diketahui korban meninggal dunia adalah sebanyak 614 orang akibat pembunuhan oleh aparat negara. Korban hilang mencapai 13 orang. Korban pemerkosaan dari tahun 1980 sampai1995 sebanyak 80 orang yang mencakup pelajar SD, SMTP, SMTA sampai ibu rumah tangga.
2)       Di Kabupaten Jayawijaya terjadi pula pelanggaran HAM dalam skala signifikan. Di Kecamatan Kelila, pada tahun 1979 diketahui korban meninggal sebanyak 201 orang. Di Kecamatan Assologaima pada tahun 1977 diketahui korban meninggal sebanyak 126 orang. Di Kecamatan Wasi pada tahun 1977 meninggal sebanyak 126 orang. Semua korban ini diakibatkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara.
3)       Di Kabupaten Biak Numfor, dari tauhn 1969 sampai tahun 1997 diketahui telah timbul korban kekerasan oleh aparat negara sebanyak 62 orang.
4)       Di Kabupaten Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun 1972 diketahui korban meninggal sebanyak 7 orang, hilang 5 orang, dan korban pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana di kabupaten lain, mereka ini adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.
Dari data-data di atas, ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di Provinsi Papua. Yang pertama adalah mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM, seperti cabang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peradilan HAM. Yang kedua adalah dengan melakukan penelitian oleh suatu badan independen tentang sejarah integerasi Papua ke dalam NKRI. Selain kedua pendekatan tersebut, pendekatan nilai-nilai budaya masyarakat Papua juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah HAM ini.

2.8.2          Berbagai Proklamasi Ilegal Papua
Para separatis dewasa ini cenderung mendasarkan tuntutannya untuk merdeka sebagai hak satu bangsa sebagaimana pernah dilakukan Indonesia dan tercantum dalam Pembukan UUD 1945. Untuk mengimplementasikan tuntutan tersebut, para separatis mengambil secara fisik model Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bedanya adalah Proklamasi Kemerdekaan RI sah menurut hukum di lain pihak proklamasi-proklamasi Papua melawan hukum. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, selain itu, juga dilakukan pada saat terjadinya vacum of power di Indonesia sebagai akibat menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 tanpa syarat. Belanda mendorong orang-orang Papua/ Irian untuk memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Inilah salah satu upaya mendirikan sebuah negara boneka yang dijawab oleh Indonesia dengan Trikora (Tri Komando Rakyat).
Pada tanggal 1 Juli 1971 sekelompok orang Papua dipimpin oleh Seth Rumkoren juga memproklamasikan kemerdekaan “ Republic of West Papua “. Menurut berita proklamasi ini dilakukan oleh Seth Rumkorem secara lisan tanpa teks. Rumkorem belakangan lari ke luar negeri. Rupanya proklamasi yang dilakukannya hanya sekedar untuk menarik simpati kalangan luar negeri agar ia dapat diterima tinggal di negeri asing.
Pada tanggal 14 Desember 1988 Thomas Wanggai memimpin sebuah upacara bendera memproklamasikan kemerdekaan Papua/ Irian dan atas itu yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman penjara atas tindak makar yang dilakukannya. Thomas Wanggai menyebut apa yang diproklamirkannya tersebut sebagai negara Melanesia Barat.
Seandainya di kemudian hari ada proklamasi-proklamasi kemerdekaan Papua seperti di atas maka semua hal tersebut merupakan penentangan terhadap hukum Internasional terutama Piagam PBB yang mengharuskan penghormatan terhadap keutuhan kedaulatan dan wilayah sebuah negara merdeka, demikian juga terhadap hukum positif Indonesia, jadi semuanya bersifat ilegal.
2.8.3          Isu Islamisasi di Papua/ Irian
Salah satu isu yang hingga kini terkadang muncul menyangkut Papua adalah adanya proses islamisasi di Papua. Dilihat pada struktur masyarakat Papua/ Irian, pemeluk-pemeluk agama nasrani adalah mayoritas. Kebetulan dunia barat memiliki kebudayaan yang berakar pada kekristenan sekalipun tidak ada negara barat yang berdasarkan agama. Fakta ini hendak digunakan para separatis agar memperoleh simpatis dan dukungan dari masyarakat luar terutama masyarakat barat dengan meniupkan isu adanya islamisasi di Papua/ Irian.
Agama Islam sebenarnya sudah sejak lama masuk ke Papua/ Irian, bahkan sebelum Belanda memasukkan daerah tersebut ke dalam Hindia Belanda. Hal ini sangat dimengerti mengingat Papua/ Irian pernah masuk wilayah atau punya hubungan khusus dengan Kesultanan Tidore dan lain-lain yang berbuadaya Islam.
Setelah selesainya Pepera tahun 1969 memang banyak pendatang ke Papua/ Irian, baik dalam rangka penempatan sebagai pegawai maupun untuk keperluan mencari nafkah, dan sebagian dari pendatang tersebut adalah pemeluk Islam. Kebebasan warga negara dalam bergerak dalam wilayah negaranya adalah hal yang lumrah dan sah secara hukum. Setiap negara memang menjamin kebebasan warganya untuk bergerak di wilayahnya.
Pasal 12 ayat 1 dari The International Covenant  n Civil and Political Rights yang telah diratifikasi Indonesia (UU No. 12 Tahun 2005) menyebut:
Everyone lawfully within the territory a state shal within that territory, have
the right to liberty of movement and freedom to choose his residense.”
Orang-orang Papua/ Irian yang berbudaya Kristen atau Nasrani juga banyak yang pindah ke tempat lain, baik sebagai pegawai, mahasiswa, atau untuk keperluan lain, namun tidak berarti mereka melakukan kristenisasi di tempat-tempat tersebut.
2.8.4          Isu “Persetujuan Roma”
Pada tanggal 20 dan 21 Mei 1969, di Roma diselenggarakan pertemuan Menteri Luar Negeri Adam Malik dengan Menteri Luar Negeri Mr. J. M. A. H. Luris disertai Menteri Kerjasama pembangunan Belanda,  Mr. B. J. Udink. Diskusi kedua pihak lebih berfokus pada implementasi persetujuan New York mengenai act of free choice dan pembangunan ekonomi dan sosial di Irian Barat. Dalam kaitan ini, Menlu Adam Malik menjelaskan persiapan yang dilakukan oleh pemeriantah Indonesia untuk melakukan act of free choice setelah dilakukan konsultasi jelas dan dengan persetujuan badan-badan musyawarah setempat dengan saran, bantuan dan partisipasi Wakil Sekjen PBB, Dubes Ortiz-Sanz dan stafnya. Menteri Luar Negeri Adam Malik juga menjelaskan bahwa karena alasan praktis dan pertimbangan teknis maka act of free choice akan dilakukan dengan sistem musyawarah (mutual consultation).
Dalam pertemuan ini, kedua pihak membahas kerjasama ekonomi dimana disepakati antara lain Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah percepatan implementasi proyek-proyek FUNDWI, untuk mana Belanda akan mengupayakan pendanaan. Disepakati juga oleh kedua pihak untuk meminta ADB memberikan bantuan teknis untuk Irian Barat. Adalah jelas bahwa join statement tidak memuat janji kemerdekaan bagi Irian/ Papua Barat seperti diisukan oleh pihak-pihak tertentu.


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Pada awal diterapkannya Otonomi Daerah di Indonesia memiliki banyak dukungan yang positif dari tiap-tiap daerah di Provinsi. Rakyat dari tiap daerah seakan mendukung penuh adanya kebijaksanaan baru tersebut. Daerah diberdayakan untuk mampu mengemban tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Daerah untuk bisa menggerakkan warganya menjadi warga negara yang aktif sehubungan dengan daerah yang sedang dipimpinnya, tanpa memutuskan hubungan yang baik kepada Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan Otonomi Daerah, beberapa daerah mulai mencoba mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk merumuskan Otonomi Khusus bagi daerahnya, karena dengan adanya Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan daerah-daerah tertentu seperti yang dicontohkan adalah Papua tidak mampu bersaing diakibatkan pengaruh pola pemerintahan yang lama (Sentralisasi) yang membuat kaku Papua dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Otonomi Khusus Papua dimaksudkan agar Papua dapat mengejar ketertinggalannya yang jauh dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Otonomi Khusus Papua memberikan harapan baru bagi Tanah Papua untuk mampu bertahan dalam Negara Kesatuan Republi Indonesia, memperoleh kembali hak-haknya baik dari sumberdaya alam yang dimilikinya maupun hak untuk berbicara dalam kaitannya dengan partisipasi politik di Indonesia, juga untuk membangun kesetaraan yang wajar dalam Republik Indonesia. Harapan-harapan tersebut memberikan semangat bagi Tanah Papua, terutama penduduk asli Papua untuk membangun daerahnya menuju Papua Baru.

3.2     Saran
      Otonomi Khusus Papua ini memang banyak mengandung pro dan kontra dari daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dari pihak intern. Anggapan dari Rumusan Otonomi Khusus Papua ini adalah upaya pemisahan diri Papua secara perlahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bisa dilihat dari berbagai isu terkait tentang Tanah Papua. Isu-isu seperti ini yang memancing asumsi-asumsi publik secaara luas untuk menggagalkan Rancangan Otonomi Khusus Papua.
Tetapi, jika melihat jauh lebih positif, upaya Tanah Papua ini dapat lebih kita perhatikan demi kesetaraan yang wajar di dalam wilayah Republik Indonesia. Kita melihat rancangan ini sebagai upaya Papua untuk bangkit dari keterpurukannya selama ini dan menuju Papua Baru. Ini juga akan berdampak baik bagi pengembangan dan kemajuan negara Indonesia. Kita dukung saja Rancangan Otonomi Khusus Papua ini selama kebijakannya masih relevan sebagai negara kesatuan Republik Indonesia, dan tidak menyimpang dari pada itu. Hanya saja pemerintah, agar lebih memperhatikan Tanah Papua lebih dari wilayah lain mengingat tingkat pembangunannya yang sangat minim, agar Papua tidak sampai merealisasikan keinginannya untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar