Senin, 04 Juni 2012

“TAWURAN PELAJAR”: DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF PERILAKU AGRESI



TUGAS PSIKOLOGI SOSIAL
 “TAWURAN PELAJAR”: DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF PERILAKU AGRESI








OLEH
PAHALA JUNEDI PANDAPOTAN
1010841003





PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2011
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
      Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”.
      “Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua.
      Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
      Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah (tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com). Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.
      Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum.
      Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekanisme-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif.
      M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency menunjukkan bahwa self-esteem bisa meramalkan masalah-masalah pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak berusia 11 tahun dengan self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
      Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans, Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi.
      Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud memandang tawuran dengan memahami beberapa perspektif perilaku agresi dan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.

B.     Rumusan Masalah
      Dari latar belakang yang tersurat dalam pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut, Bagaimana teori agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara mencegah terjadinya tawuran pelajar?













BAB II
LANDASAN TEORI


A.    Pengertian
      Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak
mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi.
Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai
perilaku agresi.
      Perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002).
      Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

B.     Bentuk-bentuk Agresi
      Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.

C.     Teori-Teori Agresi
1.      Teori Frustrasi – Agresi
Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2.      Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3.      Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.



BAB III
PEMBAHASAN


A.    Tawuran Merupakan Perilaku Agresif yang Marak Dilakukan di Kalangan Pelajar
      Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
      Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
      Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.

B.     Pandangan teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran
      Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas.
      Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1.      Teori Frustrasi – Agresi
      Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
      Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
      Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
      Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frustasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada tahun 1941, Miller menyatakan bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi.
      Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang disebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
      Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2.      Teori Belajar Sosial
      Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan.
      Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
      Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
      Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
      Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
      Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak di masa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan.
      Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3.      Teori Kualitas Lingkungan
      Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah.
Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.
      Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif, pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.
      Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya.
      Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah.
      Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.

C.     Upaya Mengatasi Tawuran
1.      Dengan memandang masa remaja merupakan periode storm and drang period (topan dan badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang.
Maka pelajar sendiri perlu mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll.
2.      Lingkungan keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:
a.       Mengasuh anak dengan baik.
·         Penuh kasih sayang
·         Penanaman disiplin yang baik
·         Ajarkan membedakan yang baik dan buruk
·         Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
·         Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.
b.      Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c.       Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.
d.      Memperkuat kehidupan beragama
Yang diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.
e.       Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan video game yang cocok dengan usianya.
f.       Orang tua menciptakan suasana demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
3.      Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:
a.       Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.
b.      Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas
remaja.
c.       Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
"tradisional bermusuhan" itu.
4.      LSM dan Aparat Kepolisian
LSM di sini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menanggulangi tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata tajam.

DAFTAR PUSTAKA


A, Craig. Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior. American Psychologycal Society 2001, (353-359).

Baron, R.A., dan Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon.

Brent, M. Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency. Research Article. American Psychological Society 2005, (328-335).

Bringham, J.C., Social Psychology. New York: Harper colligns. Publishers Inc.

Diekmann, Andreas. Social Status and Aggression. The Journal of Social Psichology 1996, 136(6), (761-768).

Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.

Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.

Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.

Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar